Dies Emas ITB: Keroncong Merah Putih, Bukan Hanya untuk Orangtua

Oleh niken

Editor niken

BANDUNG, itb.ac.id - Musik keroncong sampai saat ini masih dipandang sebagai musik yang hanya bisa dinikmati orangtua saja. Prototipe awal musik keroncong Indonesia adalah Keroncong Tugu. Musik keroncong ini merambah ke beberapa kota besar dan berakulturasi semakin dalam dengan musik daerah seperti Jawa, Sunda, Sumatra, Sulawesi, dan lainnya. Sangat disayangkan, proses kreatif musik keroncong tidak diimbangi dengan proses alih generasi dari para pelaku musik keroncong. Namun, Keroncong Merah Putih, sebuah grup keroncong yang terbentuk pada tahun 1998, ingin menggugah masyarakat untuk tetap melestarikan musik keroncong sebagai salah satu jalur musik yang tidak dipandang sebelah mata di Indonesia.
Sabtu(07/03/09) sore, Keroncong Merah Putih meramaikan panggung Plaza Widya dengan membawakan beberapa lagu keroncong. Uniknya, lagu yang mereka bawakan sebagian merupakan lagu "masa kini" yang lalu diaransemen sehingga dapat dinikmati dengan alunan musik keroncong. Walau diiiringi hujan gerimis, personel Keroncong Merah Putih tidak hilang semangat untuk menyajikan atmosfer keroncong di kampus ITB.

Lebih dari 10 tahun berdiri, grup yang dibentuk di Bandung ini banyak melakukan kerja inovatif seperti berkolaborasi dengan jenis musik yang lain, diantaranya berkolaborasi dengan aliran musik pop, rock, tradisional, hip hop dan reggae, untuk membuktikan bahwa keroncong itu memang fleksibel, tidak hanya seperti apa anggapan orang-orang kebanyakan.

Suasana di panggung utama Plaza Widya lebih bersemangat lagi ketika salah satu Dosen Farmasi ITB, Dr. Sasanti Tarini, yang akrab disapa Ibu Ninet, tampil di atas panggung berduet dengan Keroncong Merah Putih menyanyikan lagu "Sepasang Mata Bola". Di kesempatan ini, ketua Keroncong Merah Putih, Retno S. Purwanto berharap dengan adanya penampilan ini, masyakat kembali ingat dan juga turut melestarikan musik keroncong yang telah sedikit demi sedikit terlupakan di Indonesia.