Diskusi Impact Investing dan Venture Capital dalam Inspirasi Berbagi

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id—Dalam beberapa tahun terakhir, impact investing sempat menjadi pembicaraan besar di Indonesia. Kepala Badan Pengelola Usaha dan Dana Lestari (BPUDL) Institut Teknologi Bandung (ITB) Deddy Priatmodjo Koesrindartoto, Ph.D. mengatakan bahwa market Indonesia mencapai nilai sebesar AS$500. BPUDL ITB lantas menggelar diskusi dengan topik besar impact investing dan venture capital dalam “Inspirasi Berbagi: Pay It Forward” pada Sabtu (31/7/2021). Acara diskusi bertepatan dengan tujuh tahun perjalanan BPUDL ITB.

Dalam pemaparannya, Deddy mengatakan bahwa impact investing ada ketika pemilik dana tidak memikirkan keuntungan semata. Mereka juga memikirkan dampak sosial dari investasi yang mereka berikan.

Sejalan dengan itu, CFO PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Darwin Djajawinata menjelaskan tentang filantropi. Menurutnya, filantropi terbagi menjadi dua: traditional philanthropy dan venture philanthropy.

Darwin juga mengungkapkan bahwa filantropi tidak lagi sendiri. Kini sudah ada yang namanya social impact investing. Social impact investing, katanya, berbeda dengan filantropi. Social impact investing memiliki timbal balik yang diharapkan dapat disesuaikan kembali. Investor maupun filantropis tidak hanya mengharapkan timbal balik sosial, tetapi juga aspek-aspek global yang perlu dicapai dan dipenuhi.

“Oleh karena itu, mereka memilih sustainable development goals (SDG) sebagai tolak ukur pencapaian,” ujar Darwin.

Darwin mengatakan bahwa platform yang tengah dikembangkan SMI mengangkat prinsip dasar optimum leveraging for maximum impact. Mereka melaksanakan skema dana hibah dari pendonor disalurkan kepada pemerintah daerah. Dana tersebut lalu digunakan untuk pembangunan berkelanjutan sesuai dengan poin-poin pada SDG.
Paparan mengenai impact investing ini kemudian ditanggapi Advisory Board BPUDL ITB Bernardus Djonoputro. “Salah satu tantangan kita sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) dengan badan hukum adalah kemerdekaan untuk me-manage apa yang kita punya,” ujarnya.

Bernardus mengatakan bahwa universitas saat ini dapat menjalankan dua peran pada impact investment, yakni peran executing body dan receiving end yang mendapatkan dampak dari investasi itu sendiri. Untuk itu, kiat-kiat menyatukan dua peran yang disebutkan sebelumnya merupakan hal yang sangat krusial.

Lebih lanjut, diskusi membahas tentang venture capital. Darwin Cyril Noerhadi, salah satu Advisory Board BPUDL ITB, mengungkap satu kata kunci yang berkaitan dengan venture capital, startup (perusahaan rintisan). Menurutnya, startup memiliki risiko tinggi untuk bisa berhasil dan belum tentu akan terus bergulir.

“Tentunya jika ingin terus bergulir dan berkembang pesat, dibutuhkan berbagai macam faktor produksi: dana, keahlian, atau bahkan kombinasi dari keduanya.”
Mengenai startup, Darwin Noerhadi menjelaskan bahwa alumni-alumni ITB dengan intelegensi yang tinggi memiliki tantangan yang harus ditaklukkan. Mereka mesti memahami pasar beserta dengan jarak yang hadir di antaranya. Oleh karena itu, dia menjelaskan tentang fase pengembangan startup.

Fase dimulai dari early stage hingga exit. Tahap exit ini lazimnya dirasakan pada tahun keenam hingga tahun ketujuh. “Saya rasa poin utamanya adalah fase exit karena investment ini bukan tabungan ataupun hutang. Investment is equity,” ujarnya. Dia berharap fase exit menjadi suatu profit atau keuntungan.

Pemaparan materi venture capital ini ditanggapi Nurhayati Subakat. Dia berujar bahwa penelitian-penelitian mahasiswa ITB sebetulnya dapat dianggap sebagai suatu ‘harta karun’. Eksekusi dan cara untuk mengomersialkan serta mengakselerasi penelitian dengan menerapkan venture capital alih-alih dengan metode peminjaman pada bank, katanya, merupakan hal yang penting agar potensi tersebut tidak sia-sia.

Tanggapan Nurhayati Subakat sekaligus menjadi penutup diskusi kali ini. Pembahasan mengenai impact investing dan venture capital pun berjalan lancar. ITB dan para ahli yang terlibat dalam diskusi menyampaikan rasa terima kasihnya.

Reporter: Athira Syifa (Teknologi Pascapanen, 2019)