Diskusi Interaktif Bahas Insinerator Sampah Bersama Prof. Enri Damanhuri
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Laboraturium Buangan Padat dan B3, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan acara Ngobrol Santai Bahas Insinerator Sampah bersama Prof. Dr. Ir. Enri Damanhuri, Sabtu (10/4/2021).
Prof. Enri adalah seorang Peneliti Senior Lab. Buangan Padat dan B3, FTSL ITB. Acara ini berlangsung dari pukul 09.00 sampai 12.00 WIB. Acara kali ini membahas teknologi insinerator skala kecil modular, konfigurasi dan fitur-fitur yang biasa digunakan, gas buangan yang mungkin muncul, serta teknologi atau cara untuk mengurangi akibat munculnya gas buangan tersebut. Acara ini dihadiri lebih dari 200 partisipan dari berbagai institusi.
Acara ini dibuka oleh Dr. I Made Wahyu Widyarsana, S.T., M.T. Beliau adalah Kepala Lab. Ruangan Padat dan B3 FTSL ITB. ”Teknologi sebagai bagian dari solusi pengelolaan sampah,” ucap Widya di awal pembukaan. Ia mengatakan acara ini bertujuan salah satunya adalah untuk memberi pemahaman mengenai teknologi khususnya teknologi insinerator.
Dalam paparannya, Prof. Enri menjelaskan dilema pengolahan sampah. Tujuan lokasi pembuangan sampah biasanya membingungkan karena di beberapa lokasi petugas sampah tidak kunjung datang. Pemilihan sampah pun sudah dilakukan tetapi bank sampah hanya menerima sampah plastik yang memiliki nilai jual. Buang sampah ke sungai juga tidak boleh dilakukan karena akan menghasilkan mikro-plastik. Begitu pula dengan pembakaran. Pembakaran tidak boleh dilakukan karena akan menghasilkan zat dioksin.
Prof. Enri mengatakan, insinerasi adalah proses oksidasi materi organik melalui pembakaran. Ada tiga komponen, yaitu pertama harus ada bahan bakarnya. Kedua tersedia oksigen, dan ketiga terdapat panas yang berasal dari api yang dipantik. “Bila salah satu dari tiga komponen ini tidak ada, maka proses pembakaran tidak akan berlangsung. Saya tidak mengatakan mari pakai insinerator karena teknologi ini efektif dan ramah lingkungan,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bila kita membakar suatu media organik, terutama jika mengandung klorin, akan muncul zat dioksin. Zat ini muncul karena adanya proses oksidasi. Menurut penelitian, dioksin akan efektif muncul pada temperatur 200-400 derajat celcius. Ini berarti kita harus membuat insinerator bekerja pada temperatur di atas 400 derajat celcius agar dioksin hanya muncul di awal dan akhir pembakaran.
Di Indonesia sudah banyak sampah dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah yang dibakar. Di seluruh penjuru negeri, membakar sampah dilakukan setiap hari bahkan ada beberapa daerah yang menjadwalkan gotong-royong membersihkan sampah kemudian membakarnya. ”Di sebuah lapak di Tangerang, saya pernah kunjungi, mereka mempreteli PCB-nya. Itu pakai apa? Pakai plastik residu sebagai bahan bakar. Itu pasti menghasilkan dioksin karena PBC dibakar,” tambah Enri.
Sekarang telah hadir teknologi, yaitu teknologi modular. Teknologi ini lebih baik dibandingkan membakar sampah dan TPA dengan liar. Insinerator bekerja pada temperatur di atas 850 derajat celcius yang dikontrol dengan alat-alat yang bisa secara otomatis menghidupkan burner agar temperatur bisa bertahan di atas 850 derajat celcius. Seperti tertulis sebelumnya, teknologi ini tetap akan ada membawa dampak negatif. ”Tidak pernah teknologi itu tanpa dampak,” ingat Pak Enri.
Acara berlangsung dengan sangat interaktif. Sesi tanggapan dan diskusi dikoordinasi oleh Ria Ismaria dan Muhammad Fariz sebagai perwakilan Group Waste Management Alumni ITB, Ikatan Alumni Teknik Lingkungan (IKTL) ITB, serta Badan Kejuruan Teknik Lingkungan Persatuan Insinyur Indonesia (BKTL-PII). Ada banyak yang bisa didapat dari acara ngobrol santai ini. Hadirnya pemateri dan partisipan yang cakap atas topik acara kali ini memperkaya diskusi yang berlangsung.
Reporter: Amalia Wahyu Utami (TPB FTI, 2020)