Dosen Oseanografi ITB Ciptakan Rumah Garam untuk Produksi Garam dan Penyulihan Air Tawar

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita


BANDUNG, itb.ac.id—Indonesia merupakan negara maritim sekaligus dikenal sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Namun, kebutuhan garam di dalam negeri masih banyak dipasok dari negara lain. Hal ini mendorong kolaborasi pengabdian masyarakat dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) ITB untuk membuat rumah garam di Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Dosen Oseanografi ITB, Dr. Susanna Nurdjaman, S.Si., M.T., menyatakan Indonesia masih melakukan impor garam dengan jumlah yang besar, padahal Indonesia terkenal dengan julukan sebagai negara maritim.

“Pertanian garam sendiri membutuhkan lahan yang luas dan berpasir. Berangkat dari hal tersebut, kami menginisiasi pembuatan rumah garam yang memanfaatkan energi dari cahaya matahari,” ungkap Dr. Susanna.

Rumah garam berukuran 4 x 3 m itu memiliki dinding yang terbuat dari susunan botol plastik bening tak terpakai yang dirangkai dengan bilah bambu. Penggunaan botol plastik bekas yang digunakan dapat menanggulangi permasalahan sampah. “Daripada botol tersebut dibuang percuma dan merusak lingkungan, akan lebih baik jika dimanfaatkan menjadi dinding seperti ini,” tutur Dr. Susanna yang sekaligus menjadi ketua tim pengabdian.

Cara kerja rumah garam ini adalah air laut yang telah diendapkan semalaman dituangkan ke dalam meja penampungan. Meja tersebut terbuat dari kayu yang dilapisi dengan seng dan plastik bening. Rumah garam akan menjebak panas dan menguapkan air laut. Uap air hasil penguapan akan dialirkan ke pipa paralon melalui atap yang terbuat dari mika bening dan didesain miring. Air tersebut merupakan air murni bebas mineral yang bisa dikonsumsi. Sementara garam yang tertinggal di meja penguapan, dapat langsung dipanen.

“Rumah garam memang hanya mengandalkan sinar matahari, tetapi penggunaan setiap bahannya sudah dipertimbangkan untuk memaksimalkan proses penguapan. Sistem desalinasi seperti ini sebelumnya sudah pernah diupayakan dalam bentuk yang lebih sederhana dan diterapkan bagi Suku Anak Laut di Kepulauan Riau,” beber Dr. Susanna.

Program pengabdian masyarakat ini turut melibatkan dosen Oseanografi lainnya, dosen Teknik Geologi, mahasiswa Oseanografi, mahasiswa Sains Kebumian, dan Yayasan Ibu Pertiwi.

Proses pembuatan rumah garam dan peresmiannya dirampungkan pada Sabtu (29/07/2023) dan dihadiri oleh pemerintah setempat. Setelah uji coba selama 4 hari, dihasilkan 1 kg garam dari penguapan air laut. Waktu ini terbilang cepat jika dibandingkan pembuatan garam tradisional oleh masyarakat Kabupaten Subang yang memakan waktu lebih dari 2 minggu.

“Pesisir Kabupaten Subang merupakan tipe pantai berawa sehingga tidak dapat disulap menjadi tambak garam. Namun, daerah ini memiliki potensi panas matahari yang melimpah. Selain itu, masih banyak lahan kosong di rumah masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk membangun rumah garam. Bahan-bahan penyusunnya murah dan mudah didapatkan,” tuturnya.

Beliau juga berharap jika keberadaan rumah garam ini dapat terus dimanfaatkan dan ditiru oleh masyarakat setempat untuk membuat pertanian garam skala rumah. “Semoga transfer ilmu yang kami lakukan dapat menjadi alternatif produksi garam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”

Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)