Gibran Huzaifah: Dari Tragedi Kelaparan hingga Fishtech Terbesar di Dunia
Oleh Adi Permana
Editor Vera Citra Utami
BANDUNG, itb.ac.id—Studium Generale KU-4078 Institut Teknologi Bandung pada Rabu (14/4/2021) menghadirkan Gibran Huzaifah, CEO dan Co-Founder eFishery dengan topik yang ia bawakan “Disrupting Agriculture with Technology”. Ia berbagi pengalaman yang ia dapatkan sejak menjadi mahasiswa ITB hingga bagaimana proses membangun startup berbasis agroteknologi.
Membangun Fishtech Startup Pertama dan Terbesar
Menurut Alumni SITH ITB itu, sektor agroteknologi bisa disebut sektor yang jarang tersentuh. eFishery baginya bukan hanya sekadar startup yang memiliki teknologi perikanan terbesar di Indonesia, namun juga berdasarkan penggunanya, merupakan startup pada bidang perikanan terbesar di dunia. “Kalau biasanya ada fintech, maka saya punya fishtech,” selorohnya.
Titik tolak tujuan hidup seorang Gibran Huzaifah dimulai dari tragedi kelaparan yang pernah ia alami, hingga membuatnya menemukan tujuannya berkuliah, yaitu menjajaki dunia entrepreuneurship di sektor agrikultur untuk mengentaskan kelaparan di Indonesia.
Semasa kuliah ia ingin mandiri. Berbagai cara ia lakukan, dari berjualan donat di depan Masjid Salman, menjadi tutor privat seusai berkuliah, hingga menjadi petugas sebuah minimarket di dekat kampus.
Langkah Pertama: Membuka Kolam Milik Sendiri
Saat mengikuti mata kuliah Akuakultur, ia mendapatkan inspirasi yang memantik semangatnya untuk berwirausaha. Kemudian, langkah awal Gibran ialah menyewa kolam di daerah Bojongsoang dengan harga yang murah untuk satu tahunnya. Panen pertama dari kolamnya sendiri kala itu berjumlah 130kg, namun sayangnya ia menemukan kesulitan dalam pemasaran hasil panen yang melimpah ruah tersebut. Hingga akhirnya, Gibran memutuskan untuk menjualnya ke toko, dengan konsekuensi berupa untung yang sangat tipis.
Dari kejadian itu, ia memutar otak, mencari jalan agar hasil panen komoditas lele yang didapatkan dapat terjual berapapun ukurannya. Akhirnya lahirlah Dorri Foods Indonesia, hasil olahan lele yang bermula dari Jalan Tubagus Ismail, lalu merambah membuka berbagai cabang.
“Karena hilir yang makin lama semakin berkembang, akhirnya bagian hulu—atau bagian budidayanya saya kembangkan. Hingga akhirnya ketika saya lulus, saya memiliki 76 kolam sendiri,” ujarnya.
Salah satu kutipan yang selalu ia pegang adalah bahwa Indonesia memiliki sense of mediocrity yang sangat besar, bahwa mayoritas orang Indonesia sudah bahagia dengan menjadi biasa-biasa saja, sehingga acapkali lupa bahwa kita harus menjadi sebuah pribadi yang luar biasa.
Dari rencana untuk penumbuhan hulu ini, Gibran terpikirkan hal lain; bahwa Indonesia memiliki banyak kolam namun tidak memiliki teknologi yang mengatasi masalah pemberian pakan setiap harinya. Seringkali pemberian pakan di kolam tidak optimal karena pakan yang terlalu lama larut dalam air hingga menyebabkan nutrisinya menghilang.
Selain dari hilangnya nutrisi pada pakan, masalah lain yang timbul adalah lingkungan. Pada beberapa waduk, polutan terbesarnya bukan berasal dari rumah tangga maupun industri, melainkan dari pakan ikan yang berlebih.
Dimulai dari Garasi Hingga Feeder Canggih
Prototipe pertama dari teknologi pemberi pakan ikan itu berawal dari garasi milik temannya yang tidak terpakai, dimulai dari perintah kendali berupa short message service (SMS) yang mengaktivasi alat pemberi makan. Dibutuhkan beberapa kali trial-and-error hingga teknologi yang ia cetuskan bersama timnya dapat dikomersialkan.
“Dimulai dari hal-hal itulah eFishery bisa maju hingga secanggih sekarang dengan fitur yang bermacam-macam; eFeeder milik kami sekarang bisa dikendalikan dari ponsel pintar pengguna serta terhubung ke sensor yang dapat mendeteksi nafsu makan dari ikan yang dibudidaya,” jelasnya.
Pelajaran yang dapat dipetik dari perjalanan hidupnya adalah inovasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan suatu permasalahan, bukan hanya memikirkan ide-ide yang inovatif. Pelajaran selanjutnya adalah untuk start early and start small. “Terkadang kita memikirkan bisnis dengan hal-hal yang terlalu kompleks, padahal seharusnya dimulai dari sekecil mungkin namun sesegera mungkin,” ucapnya.
Reporter: Athira Syifa P. S. (Teknologi Pascapanen, 2019)