Hindia Masa Kolonial Dibekukan dalam Galeri Soemardja

Oleh kikywikantari

Editor kikywikantari

BANDUNG, itb.ac.id - Dalam bingkaian rapi kayu, kejadian-kejadian historikal masa kolonial bagai dibekukan dan disimpan dalam dinginnya ruang pamer Galeri Soemardja selama 18 Februari-10 Maret 2010. Dalam tiap bingkainya, lukisan-lukisan dengan teknik litografi dan etsa tersebut bagai mengungkap kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi di  Kota Batavia, Anyer, Semarang, Surabaya, Makassar, Kupang dan Ternate pada abad 18-19 M.
Pada malam pembukaan pameran (18/12/10) pukul 19.30 WIB yang dibuka oleh kurator pameran kali ini, Aminudin T.H. Siregar, hadir pula A.D. Pirous sebagai salah satu tamu kehormatan yang berbagi sedikit kenangan mengenai awal mula seni grafis mulai merambah ke Indonesia. Pameran ini bertujuan untuk menunjukan bahwa manusia mampu berimajinasi tanpa batas pada masanya, serta memperkaya studi-studi mengenai kebudayaan Timur yang sejak dahulu sudah melekat pada bangsa pribumi.

"Awalnya orang kurang menganggap seni grafis itu sebagai karya yang mengagumkan, dibandingkan dengan lukisan-lukisan hasil seni rupa lainnya yang terlihat lebih nyata karena kebanyakan karya seni grafis merupakan hasil cetakan massal yang dirasa menjadikan karya tersebut kurang berharga. Oleh karena itu, pada masa modern seni grafis mulai dicetak di atas kanvas", ujar A.D. Pirous mengenai alasan beralihnya media rupa seni grafis dari kertas cetak biasa menjadi kanvas.

Teknik yang digunakan dalam lukisan pada pameran ini adalah litografi dan etsa. Litografi adalah teknik cetak menggunakan batu yang sebelumnya telah dilukis dengan charcoal atau cat minyak dan cat sejenisnya yang mengandung lemak, kemudian ditekan ke kanvas atau media lainnya dan didiamkan selama beberapa hari sehingga gambar tersebut berpindah cetakannya ke kanvas tersebut.

Hal yang menarik dalam pameran ini adalah dipamerkannya lukisan iring-iringan terpanjang di dunia mulai dari tentara kolonial, kaum bangsawan, hingga budak-budak yang berjalan beriringan dalam sebuah konvoi. Lukisan ini telah dipotong menjadi 10 bagian dengan pertimbangan keamanan dan untuk menjaga keawetan dalam proses pemindahan dan penyimpanan selama pameran berlangsung, dengan masing-masing bagian dibingkai dengan bingkai kayu khusus.

Melalui Pameran Hindia Beku ini ditunjukan bagaimana orang-orang pada zaman kolonial sudah mampu berimajinasi tanpa batas, dengan membuat peta pulau, dimana pada saat itu belum ditemukan teknologi pemetaan digital melalui pencitraan satelit. Hasil pemetaan menggunakan perkiraan koordinat dan arah mata angin tersebut rupanya tidak jauh dari hasil pemetaan digital masa kini. Oleh karena itu, hendaknya kita yang hidup dalam era digital dan jauh lebih canggih ini, mampu berimajinasi lebih jauh dan menghasilkan karya-karya yang jauh lebih mengagumkan pula.