Hujan Deras dalam Tiga Hari Terakhir, ITB Kebanjiran! - Belajar akan Pentingnya Sistem Drainase yang Benar
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Dalam tiga hari terakhir ini, Bandung Utara (termasuk ITB) diguyur hujan yang relatif singkat namun deras –kemarin hujan berlangsung sekitar tiga puluh menit, sejak pukul 17.30 hingga pukul 18.00, selanjutnya gerimis hingga pukul sekitar 19.00. Walaupun demikian singkat, yang ditinggalkan hujan ini adalah jalan-jalan yang tergenang air sekitar lima cm hingga 15 cm. Jalan-jalan di ITB sendiri mengalami nasib yang sama, terutama di daerah selatan (daerah depan ITB) yang letaknya secara geografis lebih rendah. Hari Senin (20/12) lalu, jalan antara gedung Teknik Lingkungan lama dengan LabTek IX tergenang air hingga lima cm. Suatu pertanyaan muncul dalam benak: mengapa ini bisa terjadi? Bahkan ITB yang terkenal sebagai MIT-nya Indonesia pun kebanjiran. Masakan masyarakat intelektual ITB tidak mampu merancang drainase yang baik?
“Orang-orang sering mengganggap drainase itu enteng,” ungkap Dr. Arwin Sabar, ahli Hidrologi dari Departemen Teknik Lingkungan ITB, “Drainase itu ada ilmunya! Gak bisa sembarangan dibuat begitu saja.” Menurut Pak Arwin, banyak sistem drainase dibuat asal-asalan. Buktinya ketika hujan jalan-jalan banjir. “Itu gak mungkin terjadi kalau drainasenya benar-benar dihitung! Kan sebuah sistem jalan raya dirancang untuk 10 sampai 20 tahun. Jadi, selama tahun-tahun itu seharusnya tidak akan pernah mengalami kebanjiran. Itu tujuannya ada perancangan.”
Rata-rata, drainase jalan asal-asalan dibuat begitu saja mengikuti kemiringan jalannya. Pak Arwin mencontohkan dua jalan di Bandung yang konsep drainasenya buruk. Pertama adalah Jalan Tubagus Ismail. Awal Jalan Tubagus Ismail (masuk di dekat Pasar Simpang) itu datar; drainasenya juga dibuat datar, tanpa memperhitungkan kecepatan minimum air dalam saluran drainase. Karena datar, air cenderung untuk diam, akibatnya terbentuk sedimentasi. Maka, mampetlah saluran drainasenya dan akhirnya banjir. Banjir ini merusak jalan pula. Contoh kedua adalah Jalan Babakan Siliwangi. Babakan Siliwangi memiliki gradien kemiringan yang besar; lagi-lagi drainasenya dibuat asal mengikuti jalan, tanpa perhitungan. Akibatnya kecepatan air –terutama pada debit puncak- akan melebihi kecepatan maksimum air dalam saluran drainase. Akibatnya, air pun meluap ke jalan.
Selain unsur kemiringan, kegagalan sistem drainase dapat diakibatkan oleh beban air yang meningkat. Dalam perancangan sistem drainase, digunakan data identitas hujan dengan periode tertentu, serta luas daerah tangkapan. Beban air dapat meningkat jika luas daerah tangkapan menurun; artinya, luas daerah terbangun meningkat. Beban air limpasan pun akan meningkat. Selain itu, gangguan seperti sampah, batu dan pasir pun dapat menyebabkan peningkatan beban air, sehingga terjadi back water (air meluap).
“Seharusnya minimal dilakukan pemeliharaan 1-2 kali setahun. Jadi perlu ada biaya maintenance,” usul Pak Arwin, “Kita sering mampu membangun, tapi gak mampu merawat.”
Rasanya baik kalau kita, masyarakat ITB –khususnya- dan masyarakat umum belajar dari hal ini. Sistem drainase itu punya peranan penting. Jalan-jalan di Bandung kerap rusak karena kerap pula tergenang air –akibat sistem drainase yang asal-asalan. Dengan membangun sistem drainase yang baik, keselamatandan kenyamanan berkendara akan tetap terjaga, sementara itu biaya perbaikan jalan dapat turun signifikan. (Apalagi, ITB memiliki Departemen Teknik Lingkungan) Setuju?
Krisna Murti (153 03 021)
update 21/12 06.55 pm