Indonesia Sudah Mengenal Hidrokarbon Sejak Akhir Abad ke-19

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id— Ilmu geokimia petroleum masih berusia relatif muda dan merupakan cabang geokimia organik. Ilmu ini berkembang pada pertengahan abad ke-20. Perkembangan yang relatif jauh daripada saat minyak bumi mulai dikenal. Tahun 1984-2003, ilmu geokimia petroleum mengalami resesi dan cenderung bersifat statis.

Pada 2004, ilmu geokimia bangkit kembali dengan adanya kemajuan di bidang peralatan geokimia dan peralatan lain terutama komputer. Karena usianya yang relatif muda, boleh jadi ilmu ini seringkali dilupakan padahal sangat diperlukan untuk dapat memperoleh minyak bumi.

Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Eddy Ariyono Subroto dalam seri webinar Geologi ITB Menyapa: Solidaritas untuk Negeri, dengan tema “Ilmu Geokimia Petroleum: Diharapkan tetapi Dilupakan”, belum lama ini.

Pada webinar tersebut, Prof. Eddy menjelaskan banyak hal terkait geokimia petroleum mulai dari definisi, sejarah perkembangan perminyakan di dunia dan Indonesia, sejarah singkat perkembangan ilmu geokimia petroleum, terbentuknya hidrokarbon, hingga cara menemukan hidrokarbon tersebut. “Petroleum itu tidak hanya minyak bumi tetapi bisa jadi minyak bumi,” tutur Prof. Eddy di awal pemaparan.

Hal ini menurutnya penting untuk disampaikan karena kebanyakan masyarakat masih menganggap bahwa petroleum hanya sebatas minyak bumi padahal jenis-jenis produk petroleum tidak hanya minyak bumi. Semua produk petroleum sendiri dibentuk oleh hidrokarbon. Dalam sejarah perkembangan umat manusia, hidrokarbon pun sudah dikenal bahkan sebelum masehi.

Ia menjelaskan, sejarah terbentuknya ilmu geokimia petroleum, mau tak mau membawa kita kembali ke abad ke-19, waktu itu Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda. Pencarian minyak bumi di Indonesia dimulai pada 1871. Pada masa itu, pengeboran beberapa sumur minyak bumi dilakukan di Jawa Barat tetapi ternyata hasilnya nihil.

“Akan tetapi, perlu diketahui bahwa pengeboran di Jawa Barat ini merupakan pengeboran sumur minyak bumi yang pertama di Indonesia. Sementara itu, tahun 1883 rembesan minyak bumi di Indonesia ditemukan pertama kali secara tidak sengaja di daerah Langkat, Sumatera Utara. Dari temuan rembesan secara tidak sengaja tersebut, akhirnya dua tahun kemudian minyak bumi berhasil ditemukan dari sumur Telaga Tunggal,” jelasnya.

Penemuan minyak bumi pertama kali di Telaga Tunggal itu kemudian dikenal sebagai Telaga Said. Menjadi lapangan minyak yang pertama dan titik awal produksi minyak bumi di Indonesia. Dari sejarah ini, kita mengetahui bahwa di Indonesia hidrokarbon sudah dikenal sejak akhir abad ke-19.

Proses Memperoleh Hidrokarbon

Prof. Eddy mengajak para peserta webinar memahami bahwa proses memperoleh hidrokarbon yang merupakan penyusun produk petroleum, itu tidaklah mudah. Untuk menemukan hidrokarbon sendiri, harus melalui serangkaian tahap eksplorasi. Selain harus mencari rembesan minyak (prospektor), ada metode geologi-geofisika serta metode geokimia juga harus dipertimbangkan.

Sampel yang sudah didapatkan kemudian juga harus dianalisis. Jenis sampel yang dianalisis menggunakan metode geokimia bisa berupa batuan sedimen (induk), minyak bumi, atau gas bumi. Analisis yang dilakukan pun dibedakan atas analisis dasar (seleksi), biomarker, dan pemodelan geokima. Sampel dianalis berdasarkan nilai parameter-parameter tertentu. Nilai parameternya pun harus ditentukan dengan perhitungan matematis. Setelah dianalisis, sampel harus melalui tahap validasi hasil analisis.


Untuk menghitung volume hidrokarbon yang telah dilakukan sampling, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni pembentukan hidrokarbon, ekspulsi, migrasi dan pemerangkapan, serta pengawetan. Perhitungan yang paling krusial adalah terhadap TOC (total organic carbon) serta kematangan hidrokarbon. Penting sekali untuk bersikap cermat dalam tahap penghitungan ini karena kita bisa memperkirakan persentase ekspulsi minyak dan gas bumi yang diperoleh, serta jumlah barelnya.

Sebagai penutup, Prof. Eddy menambahkan bahwa kita perlu hati-hati dalam melakukan seleksi sampel yang dianalisis geokimia. Prof. Eddy mengingatkan bahwa kita tidak boleh terlalu berpikir kuantitatif namun berpikir secara kuantitatif itu bagus dan diperlukan karena nantinya juga turut menentukan keberhasilan dalam pencarian minyak dan bumi (migas).

Reporter: Restu Lestari Wulan Utami (Biologi, 2017)