ITB Gelar Konferensi Pers tentang Reaktor Nuklir Jepang

Oleh Fathir Ramadhan

Editor Fathir Ramadhan

BANDUNG, itb.ac.id - Gempa bumi 9 skala Richter (SR) di Jepang dua hari lalu memicu ledakan reaktor nuklir di Fukushima. Menanggapi hal ini, ITB menggelar konferensi pers tentang reaktor nuklir Jepang pada Selasa (15/03/11) di Ruang Rapim B, Gedung CCAR ITB. Pakar kebumian dan nuklir ITB Prof. Dr. Zaki Su'ud dari Kelompok Keahlian Nuklir dan Biofisika, serta Dr. Irwan Meilano dari Kelompok Keahlian Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, hadir sebagai pembicara. Pada konferensi pers, narasumber menjelaskan mengenai mekanisme gempa dan ledakan reaktor nulir yang terjadi di Jepang.
Irwan menjelaskan, sebagai negara yang rawan akan gempa, Jepang sudah memiliki pusat penelitian mengenai potensi gempa. Gempa Miyagi beberapa hari yang lalu pun sebenarnya sudah diprediksi. "Yang tidak terprediksi adalah kekuatan gempanya," tutur Irwan.

Luas area yang terkena gempa merupakan fungsi dari besar kekuatan gempa. Semakin besar kekuatan gempa, semakin luas area yang terkena dampaknya. Sehingga kerusakan yang terjadi di Jepang pun melebihi prediksi awal.

Ledakan Reaktor Nuklir

"Bangunan dan fasilitas penting di Jepang sudah dipersiapkan untuk menghadapi gempa," ungkap Zaki. Kekuatan gempa tertinggi yang diprediksi oleh Jepang adalah 7,9 SR. Maka, bangunan dan fasilitas didesain agar tahan menghadapi gempa 8,5 SR. Kekuatan bangunan dan fasilitas sengaja dilebihkan untuk alasan keamanan. "Namun, gempa yang terjadi besarnya 9 SR, jauh melebihi prediksi. Maka terjadilah ledakan reaktor nuklir," jelas Zaki.

Zaki mengungkapkan bahwa mayoritas reaktor nuklir yang terdapat di Jepang merupakan tipe Boiling Water Reactor (BWR), yaitu reaktor yang menggunakan uap air sebagai penggerak turbin. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) tipe BWR telah memiliki sistem keamanan berupa emergency core cooling system untuk mencegah pemanasan berlebih pada bahan bakar, passive containment cooling system untuk mendinginkan udara tanpa menggunakan listrik sehingga dapat bekerja otomatis, high pressure coolant injection system untuk mengantisipasi pecahnya pipa, dan banyak lainnya.

Permasalahan yang terjadi pada PLTN di Jepang adalah rusaknya beberapa sistem pendukung dikarenakan kekuatan gempa yang terlalu besar. Rusaknya pompa mengakibatkan decay heat, sehingga terdapat panas sebanyak 1-2% yang harus didinginkan. Suhu teras reaktor meningkat, menyebabkan meningkatnya tekanan sebesar 30 cmHg di atas normal. Untuk mengurangi tekanan teras, operator mengeluarkan sebagian gas dari teras. Namun sebagian gas yang keluar adalah hidrogen, yang meledak ketika bertemu oksigen.

Saat ini, para teknisi di Jepang mendinginkan  reaktor dengan menyemprotkan air laut dan air boron. Penyemprotan air laut dilakukan karena pompa rusak akibat gempa, sedangkan penyemprotan air boron dilakukan untuk mencegah reaktor aktif kembali.

Permasalahan akan selesai jika teknisi berhasil menurunkan temperatur dan tekanan pada reaktor. Saat ini temperatur reaktor mencapai 500 derajat Celcius. Temperatur yang diinginkan adalah 280 s.d. 300 derajat Celcius.


PLTN Indonesia: Peluang dan Standar Keamanan


Lantas apakah kecelakaan ini membuktikan bahwa PLTN adalah alternatif energi yang berbahaya?

"Di Jepang, tidak ada lokasi yang tidak berpotensi terkena gempa. Namun 40% energi mereka berasal dari PLTN," tutur Irwan. Jepang merupakan negara yang sangat rawan gempa, dengan potensi gempa yang tinggi di sebagian besar wilayahnya.

Tidak seperti Jepang, Indonesia masih memiliki beberapa daerah dengan potensi gempa yang rendah. "Daerah-daerah inilah yang seharusnya digunakan sebagai lokasi pembangunan PLTN," jelas Irwan.

Berdasarkan Peta Zonasi Gempa, Indonesia memiliki potensi gempa yang beragam. Ada daerah dengan potensi gempa sangat tinggi seperti Manokwari dan sebagian Sumatera dan Sulawesi; ada yang memiliki potensi gempa tingkat menengah seperti Jawa; dan ada yang memiliki potensi gempa sangat rendah seperti Kalimantan, Bangka Belitung, dan bagian utara Banten.

"Jangan lupakan fakta bahwa nuklir adalah sumber energi yang murah. Listrik yang berasal dari PLTN hanya dihargai Rp 300 s.d. Rp 350 per kWh. Bahkan, PLTN generasi keempat dapat menyediakan listrik dengan tarif Rp 150 s.d. Rp 200 per kWh. Inilah sebabnya pemerintah Cina saat ini menggalakkan pembangunan PLTN," jelas Zaki. "Selain itu, PLTN tidak menghasilkan emisi karbon,"

"Dalam pembangunan PLTN, yang terpenting ialah pelajari potensi bencananya, lalu buat desain yang meminimasi terjadinya kerusakan apabila terjadi bencana," ungkap Zaki. "Pastikan margin of safety (dimensi desain yang sengaja dilebihkan untuk alasan keamanan-red) telah memadai."