ITB Gelar Workshop Pengelolaan Persampahan Kampus: Target Zero Waste dengan Teknologi, Kebijakan, dan Pembiasaan Baru
Oleh Merryta Kusumawati - Mahasiswa Teknik Geodesi dan Geomatika, 2025
Editor M. Naufal Hafizh, S.S.
BANDUNG, itb.ac.id - Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui Direktorat Pengembangan dan Direktorat Pengabdian Masyarakat dan Layanan Kepakaran (DPMK) menyelenggarakan Workshop Pengelolaan Persampahan Kampus Menuju Zero Waste, Rabu (05/11/2025), di Gedung CRCS Lantai 3, ITB Kampus Ganesha.
Acara ini menghadirkan enam narasumber lintas keahlian yang merancang strategi zero waste berbasis teknologi, kebijakan kampus, dan perilaku sivitas akademika, yakni Prof. Ir. Emenda Sembiring, S.T., M.T., M.Eng.Sc., Ph.D. (Masterplan & kebijakan pengelolaan sampah kampus), Ir. Joko Nugroho, S.T., M.T., Ph.D. (Sistem pengumpulan, pemilahan, dan pemrosesan sampah), Prof. Ir. Ramadhani Eka Putra, S.Si., M.Si., Ph.D. (Pengolahan biologis & circular economy), Dr.Eng. Ir. Pandji Prawisudha (Teknologi termal & waste-to-energy), Dr. Ir. Haryo Satrio Tomo, S.T., M.T. (Pengendalian emisi & standar lingkungan), dan R. Raditya Ardianto Taepoer, S.Ds., M.Ds., Ph.D. (Budaya, desain partisipatif, perubahan perilaku)
Masterplan: Maksimal 3 Jenis Pemilahan & IPST sebagai Living Lab
Prof. Emenda Sembiring menekankan pentingnya sistem pemilahan yang realistis dan sesuai kebiasaan pengguna. Ia menyampaikan bahwa hasil survei lapangan menunjukkan bahwa yang paling efektif jumlah tempat sampah adalah tiga jenis.
Prof. Emenda pun menegaskan bahwa IPST Sabuga akan menjadi living lab, sehingga kampus, pemerintah, masyarakat, dan industri dapat menguji teknologi dan mekanisme kebijakan.
“Silakan datang ke IPST. Kami siapkan ruang diskusi untuk komunitas, pemerintah, dan produsen. ITB ingin IPST menjadi tempat berbagi pengetahuan,” tuturnya.
Beliau menargetkan bahwa dalam 10 tahun ke depan, tidak ada lagi sampah kampus yang dibawa ke TPA. “Kalau berhasil zero waste, emisi kita bisa turun sekitar 66 persen,” katanya.
Sistem Pengumpulan: 3 Kali Sehari, Pemisahan Ketat, dan Produksi Kompos
Ir. Joko Nugroho, S.T., M.T., Ph.D. menjelaskan bahwa ITB saat ini mengoperasikan 2 dump truck dan 1 L300, dengan frekuensi pengambilan tiga kali sehari.
Ia mengatakan bahwa sampah yang bisa didaur ulang harus bersih sehingga sebagian plastik atau kertas kotor tetap masuk kategori residu.
Beliau mencatat bahwa rata-rata 20 ton sampah daur ulang per tahun berhasil dijual kembali, sementara sekitar 400 kg sisa makanan per bulan diolah melalui proses pemampatan dan komposting. Ia juga menyebut bahwa IPST Ganesha kini menangani sampah dari masyarakat sekitar. “Kurang lebih 10 RT di sekitar IPST masuk ke penanganan kami,” ungkapnya.
Dari Food Loss ke Circular Economy: Potensi Ekonomi Besar

Adapun Prof. Ramadhani Eka Putra menegaskan bahwa persoalan besar pengelolaan sampah organik di Indonesia bukan hanya food waste, tetapi food loss, yaitu makanan yang rusak sebelum dikonsumsi.
“Bandung sendiri food loss itu 75%. Dan ini punya potensi ekonomi yang luar biasa kalau bisa diolah dengan baik,” ungkapnya.
Beliau menyoroti pentingnya perubahan sosial dalam keberhasilan program zero waste. “Solusi itu tidak bisa copy–paste. Harus direvisi sesuai konteks. Semua orang harus bisa pakai,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa tim riset ITB sedang mengembangkan berbagai metode repurpose limbah organik, termasuk memproses limbah kopi menjadi tepung dan produk bernilai ekonomi. Upaya ini menjadi langkah konkret implementasi circular economy di lingkungan kampus.
2,4 Ton Sampah per Hari: Residunya Bisa Turun Hingga 150 Kilogram

Dr.Eng. Ir. Pandji Prawisudha mengatakan, melalui pemilahan, BSF, komposting, dan bank sampah, sebagian besar material organik dan anorganik sudah terserap sehingga residu jauh berkurang. “Dari 2,3 ton per hari itu, residunya hanya di kisaran 150 kg per hari,” katanya.
Untuk sampah residu, ITB tengah mengembangkan waste gasifier dan insinerator yang dilengkapi electrostatic precipitator. “Secara visual ini tidak baik karena masih ada asap tipis. Tapi ketika elektrostatik precipitator-nya dinyalakan, asapnya langsung hilang,” katanya.
Beliau menekankan bahwa pengolahan sampah ke depan akan menjadi sektor berteknologi tinggi. “Kita ingin mengubah dari low-tech menjadi high-tech,” tuturnya.
Kontrol Emisi: Tantangan di Zona Pendinginan Gas Buang
Dr. Ir. Haryo Satrio Tomo menyoroti tantangan lingkungan dalam proses pembakaran sampah, khususnya risiko pembentukan ulang PCDD/PCDF (polychlorinated dibenzo-p-dioxins dan polychlorinated dibenzofurans) ketika gas buang mengalami penurunan temperatur. “Setelah dibakar, gas buangnya pasti pada temperatur tinggi. Itu bisa terbentuk kembali pada zona pendinginan,” ujarnya.
Selain standar emisi, beliau menyoroti perlunya laboratorium dan metode pengujian ambien untuk melindungi masyarakat sebagai penerima dampak.
Mengubah Budaya Kampus: Dari Bersih ke Peduli
Di sisi desain dan edukasi, R. Raditya Ardianto Taepoer menegaskan bahwa inti zero waste tidak hanya pada mesin dan teknologi. “Yang lebih penting itu kita menciptakan budaya kepedulian,” ujarnya.
Beliau menampilkan karya desain berbasis daur ulang yang meraih Good Design Award di Jepang, serta karya peneliti ITB yang menjadi koleksi MoMA, New York, sebagai bukti bahwa pengolahan sampah dapat menghasilkan nilai ekonomi dan estetik.
Workshop ini menempatkan ITB sebagai living laboratory pengelolaan sampah berbasis riset, teknologi, dan partisipasi masyarakat. Melalui integrasi kebijakan, infrastruktur, teknologi termal, circular economy, kontrol emisi, hingga desain perilaku, ITB menargetkan pengelolaan sampah kampus yang modern, higienis, dan menuju zero waste.
Reporter: Merryta Kusumawati (Teknik Geodesi dan Geomatika, 2025)








