ITB Kembangkan Teknologi Radar Pasif Pendeteksi Pesawat

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Tampilan monitor dari teknologi Radar Pasif yang dikembangkan oleh ITB. (Foto: Adi Permana/Humas ITB)


BANDUNG, itb.ac.id – Sebagai kampus berwawasan teknologi, Institut Teknologi Bandung terus berupaya melahirkan teknologi baru yang sejalan dengan kebutuhan saat ini. Salah satu teknologi yang baru saja dikembangkan dan juga hadir pertama kali di Indonesia adalah teknologi radar pasif untuk mendeteksi pesawat.

Teknologi radar pasif ini merupakan buah karya dari Kelompok Keahlian (KK) Teknik Telekomunikasi di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB (STEI ITB) yang bekerjasama dengan PT. LAPI ITB dan Balitbang Kementerian Pertahanan RI. Penelitian ini dipimpin oleh Dr. Joko Suryana, ST., MT. dengan tujuan untuk mendeteksi adanya pesawat asing yang melewati batas negara secara illegal.

Sehubungan dengan hal tersebut, desain radar dibuat dengan konsep transportable sehingga bisa dibawa sampai ke wilayah terpencil tanpa perlu tambahan mobil pengangkut. Saat ini sistem tersebut masih dalam tahap pengembangan dan belum dikomersialkan, namun akan diuji coba bersama dengan Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional).


*Foto: Adi Permana/Humas ITB

Radar sendiri merupakan singkatan dari Radio Detection and Ranging yang dibagi menjadi dua jenis, yaitu radar aktif dan radar pasif. Perbedaan dari kedua radar tersebut terletak pada cara mendeteksi target, dimana radar aktif dapat memancarkan sinyal sendiri sedangkan radar pasif hanya berperan sebagai receiver atau penerima sinyal.

Waktu yang dibutuhkan untuk membuat sistem radar pendeteksi pesawat seperti ini tentu saja tidak singkat. Saat diwawancara oleh Reporter Humas ITB, Ahmad Izzuddin, salah satu perwakilan dari tim pengembangan teknologi radar menjelaskan bahwa proses pembuatan sistem ini dimulai sejak tahun 2017 sampai 2020. Rencananya di akhir tahun 2019 akan ada demo fungsi sistem radar pasif yang telah dikembangkan. Total waktu selama empat tahun tersebut digunakan untuk pengujian sistem dan apabila telah berjalan dengan sempurna, maka di tahun 2020 radar tersebut sudah bisa digunakan.

“Kesulitannya mungkin ada pada beberapa perangkat COTS yang harus dibeli dari luar negeri karena belum tersedia di Indonesia. Kemudian perangkat tersebut masih harus dikembangkan lagi di ITB karena apabila membeli langsung yang siap digunakan harganya sangat mahal,” ujar Izzudin yang merupakan dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB itu.

Di sisi lain, ia menambahkan, ada bagian yang bisa tim kembangkan sendiri misalnya antena. Tim dalam proses pembuatan radar pasif tidak langsung membeli antena, namun tentunya memerlukan tahapan desain dan tes untuk menguji kemampuannya. “Mungkin itu salah satu faktor kenapa waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan sistem ini cukup lama,” ujarnya.

Kendati demikian, hal tersebut menurut Izzuddin justru harus menjadi pemacu mahasiswa untuk terus berkarya. “Menurut saya justru dengan melihat keadaan seperti ini seharusnya dapat memicu mahasiswa dan akademisi di Indonesia untuk terus berkarya hingga akhirnya tidak perlu membeli perangkat dari luar negeri. Semua perangkat bisa didapatkan di Indonesia dan asli buatan Indonesia,” tutup Izzuddin.

Reporter: Qinthara Silmi Faizal (Manajemen, 2020)