ITB Latih Petani Kopi Manfaatkan Limbah Pasca Panen

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


JATINANGOR, itb.ac.id - Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar pelatihan pengolahan limbah kopi bagi para petani kopi, pada Rabu (10/7/2019), di Laboratorium Kayu ITB Kampus Jatinangor, Sumedang. Pelatihan tersebut merupakan bagian dari program pengabdian kepada masyarakat (PPM) Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB. Tujuannya untuk memberdayakan masyarakat di sekitar kampus agar masyarakat dapat berinovasi bersama-sama ITB seiring berkembangnya teknologi tepat guna terutama teknologi untuk pengolahan limbah pasca panen kopi.


Para petani kopi dari Desa Jatiroke, Kabupaten Sumedang, diajarkan bagaimana mereka bisa mengolah limbah kulit kopi menjadi asap cair, dan juga membuat biopelet dari limbah kopi tersebut. Asap cair dari limbah kopi memiliki banyak manfaat, di antaranya adalah sebagai penyubur tanaman, pengendali hama, serta pengawet. Sedangkan biopelet merupakan energi alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti gas LPG pada rumah-rumah tangga.

Pembuatan Asap Cair menggunakan Teknik Pirolisis

Pirolisis merupakan teknik mengurai bahan organik melalui proses pemanasan hingga menjadi gas. Teknik pirolisis juga dapat disebut teknik paling mudah. Tahap pertama pada pembuatan asap cair menggunakan teknik pirolisis, yaitu dengan menyiapkan limbah kopi yang sudah dibersihkan dari kotoran-kotoran yang menempel seperti kerikil atau tanah, kemudian dijemur hingga kering untuk mengurangi kadar airnya. 

Tahap kedua yaitu membakar limbah kulit kopi kering diatas tungku pembakaran menggunakan wadah berupa drum. Apabila terlihat sudah mengeluarkan asap tebal, selanjutnya drum tersebut ditutup untuk kemudian asapnya diarahkan melalui pipa sebagai penghubung. 

Tahap ketiga yaitu pendinginan, bertujuan agar asap tebal tadi terkondensasi dengan baik dan berubah wujud menjadi cair. Tahap keempat yaitu mengalirkan hasilnya ke dalam suatu wadah untuk menampung asap cair tersebut. Praktek pirolisis untuk limbah kulit kopi ini dibimbing oleh Dr. Alfi Rumidatul, pakar Teknik Kehutanan dari ITB

Pemanfaatan limbah pengolahan kopi perlu dilakukan agar limbah memiliki nilai guna, ekonomis, dan tidak mencemari lingkungan. “Kulit kopi itu termasuk bahan yang bersifat asam, sehingga apabila dibiarkan begitu saja akan mencemari lingkungan,” ujar Dr. Alfi. 

Ia menambahkan, asap cair hasil proses pirolisis perlu diendapkan terlebih dahulu selama 7 hari sampai 10 hari agar tidak larut, dan senyawa lain tidak mengendap. Pemanfaatannya dijelaskan oleh Dr. Alfi dapat diberikan pada tanaman yang terkena serangan hama ulat. Dosis untuk 1 liter air, bisa dicampurkan sebanyak 75 mililiter sampai 100 mililiter asap cair, dengan volume semprot 400 liter sampai 500 liter perhektar. Interval penyemprotan dilakukan setiap 2 sampai 3 hari sekali baik pagi maupun sore. Namun interval tersebut dapat disesuaikan menurut tingkat serangan hama ulat.

“Harapannya semoga para petani kopi ini dapat minimal tahu apa saja manfaat kulit kopi yang dikenal sebagai limbah ini, untuk kemudian dapat mencoba membuatnya kembali secara terus menerus di desanya sendiri,” ujarnya.

Biopelet, Energi Alternatif dari Biomassa Limbah Kopi

Praktek kemudian dilanjutkan dengan membuat biopelet masih dari limbah kopi  sebagai bahan baku utama. Praktek kedua kali ini dibimbing oleh Dr. Anne Hadiyane. Pada praktek membuat biopelet dari limbah kopi ini membutuhkan beberapa alat bantu, yaitu Chipper untuk mengubah ukuran limbah menjadi lebih kecil, Hammer Mill untuk memperkecil lagi ukuran hingga 1 milimeter, kemudian Saringan berukuran 16 mesh, dan alat pencetak biopelet.

Tahap pertama yaitu membersihkan limbah kulit kopi dari kotoran lain dan kemudian dijemur untuk mengurangi kadar air. Tahap kedua yaitu mencacah ukuran kulit kopi menggunakan chipper dan hammer mill hingga berukuran kira-kira 1 milimeter. Semakin kecil ukurannya, akan semakin baik karena dapat meminimalisir keretakan yang berujung pada pemadatan biopelet yang semakin baik. Tahap ketiga menyeragamkan ukuran menggunakan saringan, dilanjutkan tahap keempat yaitu mencampur dengan menggunakan bahan perekat berupa tepung tapioka dengan konsentrasi 5 hingga 10 persen dalam air panas dan kemudian didiamkan selama 1 hari. Tahap kelima yaitu pencetakan biopelet dengan teknik pemadatan yang dinamakan extruding, dimana bahan dimampatkan menggunakan sebuah ulir atau piston yang melewati cetakan berbentuk tabung sehingga dihasilkan produk yang padat. Tahap keenam, terakhir yaitu pengeringan setelah biopelet dicetak yang bisa menggunakan oven selama 24 jam, atau dijemur dibawah sinar matahari selama 2-3 hari.

Dr. Anne menjelaskan, biopelet sebenarnya adalah bioenergi. Tidak hanya dari limbah pengolahan kopi, biopelet juga dapat dibuat dari berbagai limbah biomassa. Biopelet merupakan limbah biomassa yang berbentuk pelet dan dapat mencapai panas sekitar 8000 Celcius.

“Biopelet dari limbah kopi juga dapat digunakan pengganti tabung gas LPG di rumah. Jadi biopelet limbah kopi ini adalah energi alternatif yang terbarukan dan ini sejalan karena di masa sekarang ini tantangan kita adalah mencari sumber energi alternatif yang terbarukan,” ujar Dr. Anne Hadiyane.

Reporter: Afif Naufal Harman (Teknik dan Pengelolaan Sumber Daya Air, 2017)