Kelapa Sawit Bisa Jadi "Lumbung" Energi Terbarukan

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

Foto: ebtke.esdm.go.id

BANDUNG, itb.ac.id--Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr. Tungkot Sipayung mengatakan saat ini sedang gencar upaya untuk mengalihkan jenis energi utama dunia dari fossil based energy menjadi renewable green energy. Hal ini didasari oleh semakin maraknya fenomena pemanasan global yang disebabkan oleh kenaikan kadar gas rumah kaca.

Tercatat bahwa pada tahun 2018, kadar karbondioksida di bumi meningkat hingga mencapai angka 407 ppmv dan sektor energi fosil menjadi kontributor utama greenhouse gas (GHG) dengan persentase 68%. “Maka dari itu, penggunaan energi fosil diimbau untuk semakin dikurangi,” ujar Tungkot dalam acara webinar “Sawit sebagai Tambang Energi Berkelanjutan”.

Tungkot menilai kelapa sawit menjadi “lumbung” energi terbarukan. Terdapat berbagai faktor yang memperkuat kelapa sawit sebagai salah satu sumber energi terbarukan terbaik. Keunggulan pertama yang dimiliki adalah berlimpahnya kelapa sawit di Indonesia. “Indonesia menjadi raja biodiesel dengan produksi 7.9 miliar liter mengalahkan Amerika dan Jerman,” jelasnya.

Dr. Tungkot juga menyatakan bahwa produksi minyak sawit di Indonesia tergolong stabil. Selain itu, berbagai keunggulan sawit sebagai sumber energi terbarukan di antaranya adalah harga bahan baku yang kompetitif, hemat lahan dan deforestasi, sawit sebagai bahan dasar biodiesel hemat polusi tanah, dan sudah tersertifikasi sustainable. “Kebun sawit sangat efisien untuk dimanfaatkan untuk diolah menjadi sumber energi karena banyak menyerap oksigen,” ujar Tungkot.

Sementara itu, Dosen Teknik Kimia ITB, Dr. Ir. Tatang Hernas mengatakan bahwa energi merupakan “oksigen” dari perekonomian, dan seiring berjalannya waktu, sumber energi harus diperbaharui untuk menjaga lingkungan dan juga memperhatikan ketersediaannya. “Karena saking pentingnya energi, proses transisi fosil ke sawit harus diperhatikan dan dikembangkan lebih serius melalui pendidikan dan iptek,” ujarnya.

Dr. Tatang juga memaparkan berbagai jenis sumber daya nabati yang cocok untuk menjadi energi, mulai dari lignoselulosa, gula, pati, minyak-lemak, protein, alkaloid, dan steroid. Ia percaya, bahwa Indonesia dapat menjadi pemimpin BBN dunia dengan sawit sebagai modal, Indonesia bisa mengembangkan semua potensi sumber daya minyak-lemak nabati dengan maksimal.

Terkait Energi Baru Terbarukan (EBT), Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE, Andriah Feby Misna, S.T., M.T., menjelaskan bahwa Indonesia menargetkan EBT memegang 25% porsi dari total sumber energi yang dipakai di Indonesia pada 2025. Berbagai strategi telah disiapkan untuk mempercepat perkembangan EBT. Mulai dari substitusi energi final, konservasi energi primer fosil, penambahan kapasitas EBT, dan pemanfaatan EBT nonlistrik.

Sementara itu, Duta Besar Luar Biasa Indonesia Untuk Belgia dan Uni Eropa, Dr. Andi Hadi, S.H. LLM memaparkan materi mengenai kebijakan dan isu perdagangan sawit dan biodiesel di Uni Eropa. Dr. Andi juga menceritakan mengapa Uni Eropa cenderung memandang negatif kelapa sawit.

“Uni Eropa menciptakan kebijakan bernama The EU Green Deal dengan ambisi mewujudkan Eropa sebagai kawasan climate neutral, yang berarti keseimbangan antara tingkat emisi yang diproduksi dan kemampuan serapan karbon,” ujarnya.

Salah satu alasan kuat yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah, klaim Uni Eropa akan keberhasilan mereka menurunkan tingkat emisi hingga 23% berdampak pada terjaganya pertumbuhan ekonomi hingga 61%. “Sayangnya, karena kebijakan ini ada kecenderungan Uni Eropa menganggap kalau biodiesel dari sawit tidak lestari pada alam,” ujarnya.

Reporter: Yoel Enrico Meiliano (TPB FTI 2020)