Prodi Magister Biomanajemen ITB Gelar Kuliah Tamu “Peran Industri Kelapa Sawit sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi Nasional”
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Program studi magister Biomanajemen, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB (SITH) menyelenggarakan kuliah tamu tentang Peran Industri Kelapa Sawit Sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Materi pada kuliah tamu yang dihelat pada Kamis (24/2/2022) ini dibawakan oleh Wakil Ketua Umum III Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Togar Sitanggang dan Staf Ahli Menteri Pertanian, Mukti Sardjono.
Judul dari kuliah tamu ini adalah “Strategi Pengembangan Usaha dan Manajemen Risiko pada Pengusahaan Kelapa Sawit dalam Perannya sebagai Motor Pertumbuhan Ekonomi Nasional”.
Mukti memulai pemaparan materi dengan menjelaskan tentang berbagai faktor yang memengaruhi keberjalanan industri sawit dari sisi produsen dan konsumen. “Dari sisi negara produsen, tentunya produksi sawit dipengaruhi oleh kondisi cuaca, iklim, serta pajak dan regulasi ekspor. Sementara dari sisi negara produsen, kebutuhan akan sawit dipengaruhi oleh populasinya, pertumbuhan ekonomi, energi, keadaan politik, gaya hidup manusia, hingga kondisi kesehatan yang dialami manusia,” jelas Mukti.
Selain itu, keberjalanan industri sawit terutama minyak sawit juga dipengaruhi dengan persaingan yang ada. Minyak sawit juga bersaing dengan produk minyak nabati lainnya. Pergerakan harga minyak sawit di Indonesia pun mengikuti harga dunia. Hal ini tentunya berpengaruh besar terhadap pendapatan petani dan pengeluaran konsumen di Indonesia. Secara statistik terkait, Indonesia merupakan negara pengekspor dan produsen nomor satu di dunia, serta memiliki luas area panen sawit terbesar ke-6 di dunia
Dengan perolehan yang sangat besar di sektor sawit ini, Indonesia secara otomatis juga memiliki begitu banyak kesempatan untuk mengembangkan sawit menjadi penghasil devisa negara yang besar. Selain tentang persediaan yang berlimpah, sawit juga merupakan sumber daya alam yang kaya akan manfaat. “Bukan hanya dapat dimanfaatkan sebagai minyak goreng, sawit juga bisa menjadi bahan baku untuk pembuatan margarin, gliserin, hand sanitizer, hingga biodiesel. Selain itu limbahnya pun dapat dimanfaatkan menjadi berbagai produk,” pungkas Togar.
Terlebih lagi, sawit merupakan penyerap emisi gas rumah kaca yang baik. Baik kebunnya maupun hasil olahan sawit dapat memberikan dampak baik dalam menyerap emisi gas rumah kaca. Selain itu, gas Metana dari limbah cair pengolahan sawit juga dapat dikonversi menjadi energi listrik. “Penggantian 1 liter solar dengan biodiesel dapat menurunkan emisi 2,65 Kg CO2Eq. Bahkan secara keseluruhan, penggunaan biodiesel sepanjang 2021 telah menurunkan emisi sebanyak 22,4 juta ton CO2Eq,” tegas Mukti.
Dari sisi ekonomi, sawit juga telah memberikan dampak positif yang besar bagi Indonesia. Mulai dari penyediaan lapangan kerja hingga peningkatan devisa. Sebagai contoh, 10 ribu hektar kebun sawit dan industri pengolahan kelapa sawit menyerap 2600 orang tenaga kerja langsung nonsarjana dan 25 orang tenaga kerja langsung berpendidikan sarjana. Pekerjaan ini juga dilangsungkan pada divisi yang berbeda-beda. Mulai dari jasa teknik, transportasi, keamanan, ATK, saprotan, produksi pupuk dan bahan kimia, refinery, biodiesel, hingga pengolahan limbah B3.
Lebih hebat lagi, sepanjang tahun 2021 Indonesia telah meraup devisa sebesar 35,5 Juta US Dollar dari sawit, ditambah lagi penerimaan dari berbagai jenis pajak. Tentunya, raihan ini juga menjadi penyelamat neraca perdagangan Indonesia dari defisit. Bukan hanya memberi devisa, sawit juga dapat menjadi pemenuh kebutuhan dalam negeri. Konsumsi sawit dalam negeri dimanfaatkan untuk industri pangan, oleokimia, dan biodiesel. Tentunya ketersediaan sawit untuk diekspor pun masih banyak.
Namun, tentunya industri sawit di Indonesia masih mengalami sejumlah tantangan dan rintangan. Pertama, pencapaian produktivitasnya belum optimal. Hal ini dikarenakan, biasanya pengembangan dilakukan pada lahan dengan kesulitan yang tinggi dan diperlukan riset operasional untuk mengatasinya. Dari segi infrastruktur dan akomodasi, distribusi minyak sawit juga menghadapi tantangan berupa harga angkutan yang tinggi serta proses pengangkutan yang lama. Hal ini berdampak pada kenaikan biaya yang tinggi untuk akomodasi karena waktu tunggu yang lama serta produksi menjadi sulit untuk mencapai refinery.
Bersyukurnya, telah dicetuskan berbagai strategi untuk mengatasi permasalahan ini. “Pertama, produksi biodiesel harus fleksibel agar dapat ikut mengatur pasokan ekspor. Selain itu, perlu dilakukan peremajaan tanaman yang tidak produktif dan efisiensi teknik budidaya serta pengolahan untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga biaya produksi. Terakhir, harus pula dilakukan pemanfaatan limbah serta peningkatan kualitas infrastruktur,” jelas Togar.
Reporter: Yoel Enrico Meiliano (Teknik Pangan, 2020)