Kisah Mahasiswa Kimia ITB Kembangkan Sensor Non-Enzimatik untuk Mendeteksi Glukosa dalam Darah di Negeri Sakura

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh


BANDUNG, itb.ac.id — Mahasiswa Program Studi Kimia angkatan 2020, Institut Teknologi Bandung (ITB), Neng Firly Sriramadhani mendapatkan kesempatan research student exchange di Keio University, Jepang. Bersama dengan Prof. Yasuaki Einaga, ahli di bidang elektrokimia, Firly melakukan penelitian mengenai sensor non-enzimatik yang digunakan dalam glukometer. Glukometer adalah alat cek gula darah yang digunakan untuk memonitor kandungan gula darah dalam tubuh manusia.

“Alat ini biasanya mengandalkan enzim glukosidase sebagai sensor untuk mendeteksi glukosa dalam darah. Namun, enzim ini akan rusak jika berada pada suhu yang terlalu rendah atau tinggi. Akibatnya, glukometer menjadi kurang sensitif untuk mengukur glukosa. Hal ini cukup merugikan dalam dunia industri,” ujarnya.

Berangkat dari permasalahan tersebut, dirinya berusaha mengembangkan sensor yang lebih baik dengan material non-enzimatik yang lebih tahan lama dan tahan terhadap kondisi suhu ekstrem. Komponen pendeteksi tersebut adalah MXene, material yang disintesis dari logam transisi. Pada penelitian ini, Firly menggunakan Vanadium Karbida (V2C) yang dimodifikasi dengan nanopartikel emas. Terakhir, dia melengkapinya dengan Boron-Doped Diamond (BDD) atau berlian yang sudah didoping dengan unsur Boron.

   

“Berlian tersusun dari gabungan berbagai karbon yang memiliki struktur tertentu. Jika dilihat di bawah mikroskop tampak strukturnya yang sangat rapi. Akan tetapi, strukturnya menjadi lebih powerful ketika dilakukan doping atau cacat kristal. Unsur karbon diganti dengan Boron, yang disebut BDD. Keunggulannya adalah memiliki sifat yang sinergis dengan MXene. Rangkaian BDD yang ditempel bersama MXene dan emas tersebut menjadi satu kesatuan sensor yang lebih akurat dalam pendeteksian glukosa,” kata Firly.

Dirinya melakoni penelitian tersebut pada 5 Juni-2 Juli 2024. Dalam sehari, Firly dapat menghabiskan waktu 12-14 jam di laboratorium. Dia mengaku cukup tertekan dengan waktu penelitian yang singkat, sementara ada banyak variabel penelitian yang harus diuji. Namun, dia amat terbantu dengan rekan-rekan peneliti lainnya dan Sensei yang membimbingnya.

Selama satu bulan itu, Firly juga mencicipi keindahan Negeri Sakura dan keramahan penduduknya. “Di sana kami terbiasa menyapa dan membungkukkan badan,” ceritanya.

Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)