Konferensi Internasional

Oleh kristiono

Editor kristiono

BANDUNG, itb.ac.id - Aula Timur ITB, Selasa (10/02/09) menjadi tempat peresmian ASEAN Network for Inter-Cultural Management & Economic Studies. Jaringan yang terwujud atas inisiasi SBM ITB dengan University of St. Gallen ini bertujuan untuk mempromosikan pentingnya praktek pengajaran manajemen berwawasan budaya. Forum ini mendapat dukungan universitas dari Vietnam, Philipina dan Malaysia dan sedang meluaskan pengaruhnya di ASEAN.

Bersamaan dengan peresmian forum ini diselenggarakan seminar internasional bertajuk "Conference on Inter-Cultural Management", dengan Prof Le Choy Chong, Director of Asia Research Centre. University of St Gallen, bertindak sebagai pemateri utama.

Prof Chong mengawali materinya dengan memaparkan konsep dan terminologi managemen inter budaya, perbedaan budaya diantara para pelaku bisnis global, pentingnya kompetensi manajemen inter budaya, hingga potensial ekonomi sebagai akibat dari penerapan manajemen inter budaya dalam perusahaan.

Pemahaman manajemen inter budaya, demikian Prof. Chong, dalam dunia bisnis menjadi semakin penting. Alasannya, proses globalisasi yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi dan arus informasi menyebabkan pergerakan perusahaan dan sumberdaya insani menjadi sangat cair tak lagi terhalang oleh batas negara. Komunikasi masyarakat global ini dapat terhambat apabila satu sama lain tidak saling mengerti kebiasaan dan budaya masing-masing pihak.

Sebaliknya, menurut Prof Chong, training dan pelatihan manajemen inter budaya di perusahaan masih jarang dilakukan. Mengutip penelitian Black dan Gregersen, prof Chong mengemukakan 20% pekerja ekspatriat asal AS memilih pulang ke negaranya sebelum kontrak kerja selesai. Sementara satu dari tiga orang yang bertahan menyatakan tidak puas dengan lingkungan sosial tempatnya bekerja. Ketidaknyamanan yang dirasakan tenaga ahli asing ini akibat dari kurangnya pemahaman budaya.

Menurut Prof Chong, orang barat berpikir secara rasional linier sedangkan masyarakat timur cenderung holistic. Dalam menghadapi persolaan, orang barat akan langsung mensasar pokok persoalan. Orang timur lebih suka mencari konsensus. Masalah timbul jika antara orang barat dan timur bersama menjalin bisnis namun kurang saling memahami budaya masing-masing. Dalam konteks ini, manajemen antar budaya menjadi kompetensi yang relevan dalam melancarkan komunikasi.

Dalam kesempatan yang sama, Ernie Ginting, mewakili PT Pertamina, membagi pengalaman perusahaan BUMN ini dalam melakukan praktek transformasi budaya di lingkungan korporat. Seiring dengan berlakunya UU Migas No 22 Tahun 2001, Pertamina menghadapi situasi bisnis minyak yang semakin kompetitif. Konsekuensi atas perubahan status menjadi murni pemain, sebelumnya merangkap regulator bisnis minyak, mendorong BUMN ini untuk semakin transparan dan bersih agar dapat bersaing.

Ernie, Alumni Teknik Industri ITB, mendeskripsikan situasi bisnis minyak yang dihadapi Pertamina saat ini dalam empat hal. Pertama, hadirnya pesaing dalam bisnis retail dan adanya regulator independen BP Migas. Kedua, perubahan mekanisme subsidi PSO minyak. Ketiga, pembukuan keuntungan perusahaan harus semakin baik. Keempat, BUMN terbesar di Indonesia ini dituntut semakin transparan dan akuntabel.

Memboyong motto clean, competitive, confident, customer focused, commercial, dan capable, Ernie mengemukakan Pertamina siap bertransformasi menyaingi Petronas dalam lima tahun kedepan. "Proses transformasi dan perubahan budaya difokuskan pada upaya menumbuhkan keteladanan dari top manajemen", kata Ernie.

Seminar yang diselenggarakan dalam rangka Dies Emas ITB ini juga diisi pengalaman praktis HM Sampoerna, presentasi dari CEO Indonesia Wise Amol Titus, pengajar SBM ITB Dr Bambang Rudito dan Dr. Agung Wicaksono.


scan for download