KSTI 2025: President of the Australian Academy of Science Paparkan Visi Kemitraan Ekosistem Riset Australia-Indonesia
Oleh Azka Adziman -
Editor M. Naufal Hafizh, S.S.
BANDUNG, itb.ac.id – President of the Australian Academy of Science, Prof. Chennupati Jagadish, memuji dukungan kuat pemerintah Indonesia terhadap sains dan teknologi. Hal tersebut disampaikan menanggapi eratnya hubungan ilmiah antara Australia dan Indonesia, pada Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri (KSTI) Indonesia 2025, Jumat (7/8/2025), di Sabuga, Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada kesempatan tersebut, beliau memaparkan strategi riset nasional Australia sebagai model potensial untuk kolaborasi, sekaligus menawarkan peluang nyata guna memperkuat ekosistem sains kawasan.
eliau memuji keyakinan Presiden Prabowo terhadap sains dan teknologi untuk kemajuan bangsa. “Setengah dari permasalahan Anda sudah terpecahkan,” ujarnya.
Beliau mengagumi visi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) serta kepemimpinan Menteri Prof. Brian Yuliarto, dengan menyatakan bahwa tingkat keselarasan antara pemerintah dan komunitas ilmiah menjadi bukti keyakinan Indonesia untuk menggerakkan sistem riset nasional. Beliau juga memuji Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) atas pendekatan holistik yang tidak hanya mencakup STEM, tetapi juga humaniora dan ilmu sosial.
Terkait hubungan erat kedua negara, beliau berbicara tentang potensi dan ambisi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), seraya menegaskan bahwa, “Generasi berikutnya bukan hanya masa depan sains, tetapi juga masa depan masyarakat.”

Berdasarkan pengalamannya memimpin lembaga sains terkemuka Australia, Prof. Jagadish memaparkan visinya tentang ekosistem yang kuat dan saling terhubung antara riset, industri, dan pemerintah. Beliau membagikan perkembangan terbaru Australia terkait lima prioritas nasional sains dan riset, termasuk transisi menuju masa depan net-zero dan membangun bangsa yang aman serta tangguh.
Beliau menguraikan rekomendasi Akademi Sains Australia untuk model nasional baru dalam mengoordinasikan riset dan pengembangan (R&D). Model ini akan mempersatukan pendanaan nasional melalui satu sistem terpadu, memanfaatkan kemitraan investasi bersama di bidang yang menjadi kepentingan nasional, serta menghubungkan berbagai lembaga riset dalam forum kolaboratif. Menurutnya, model ini dapat menjadi contoh bagi Indonesia untuk menyelaraskan upaya, menghindari duplikasi, dan menciptakan kesinambungan antara penemuan dan penerapan.
Prof. Jagadish menekankan bahwa ekosistem yang sehat bergantung pada “jalur pasokan talenta” yang terjamin. Ia mencatat tantangan utama yang dihadapi banyak negara, termasuk Australia, adalah perlunya melatih lebih banyak pelajar domestik di bidang seperti Kecerdasan Buatan (AI) untuk membangun kapasitas kedaulatan. Dalam konteks ini, ia memuji inisiatif terbaru Indonesia untuk meningkatkan literasi STEM dan AI di kalangan generasi muda.
Ia menyebutkan tiga langkah kunci untuk membina jalur talenta tersebut:
1. Melatih para ahli yang dibutuhkan di masa depan;
2. Menarik talenta terbaik dari dalam dan luar negeri;
3. Mempertahankan peneliti dengan menyediakan jalur karier yang mendukung dan lingkungan kerja yang positif.

Ia juga menjelaskan tantangan penting dalam mengukur dampak riset, dengan merujuk pada makalah terbaru dari platform kemitraan pengetahuan KONEKSI. Ia mengingatkan bahwa mengandalkan Return on Investment (ROI) semata dapat menyesatkan, karena tidak mencakup manfaat jangka panjang seperti peningkatan kesehatan masyarakat atau keberlanjutan lingkungan. Ia mendorong penggunaan indikator yang lebih holistik, seperti pengembangan modal manusia, kepadatan kolaborasi, dan hasil sosial untuk memandu investasi strategis secara lebih tepat.
Menutup paparannya, Prof. Jagadish menegaskan pentingnya kolaborasi internasional. Ia secara langsung mengundang komunitas ilmiah Indonesia untuk berpartisipasi dalam inisiatif baru bernama “Seeds of Science Asia”. Program yang dikelola oleh Akademi Sains Australia ini menawarkan hibah yang dirancang untuk memperkuat hubungan antara sains dan kebijakan di kawasan.
“Tujuan Seeds of Science Asia sederhana namun kuat: mendukung tata kelola yang berbasis bukti, adaptif, dan berpandangan ke depan di seluruh kawasan kita,” ujarnya, seraya mendorong peneliti Indonesia untuk mendaftar dan membagikan peluang ini di jaringan mereka.
Pemaparan Prof. Jagadish menjadi penegasan kuat akan kemitraan erat Australia–Indonesia, sekaligus memberikan cetak biru yang berpandangan jauh ke depan untuk membangun ekosistem sains yang tangguh dan berdampak bagi kedua negara serta kawasan yang lebih luas.
.jpg)
.jpg)
.jpg)









