Kuliah Umum Oseanografi ITB Ungkap Paleogeografi Kepulauan Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Program Studi Oseanografi ITB melaksanakan kuliah umum dengan topik bahasan Paleogeografi Kepulauan Indonesia. Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Dr. Ayi Tarya selaku Ketua Program Studi Oseanografi. Saat membuka acara, ia menyampaikan gagasan penyelenggaraan kuliah umum pertama ini berkaitan dengan rangkaian Program NUSANTARA yang merupakan Skema Riset Kemitraan Dasar 2021.
“Keberlangsungan kegiatan ini tidak lepas dari kolaborasi yang dilakukan bersama Université de Nantes, Institut des Sciences de la Terre, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI, dan program Kampus Merdeka dari Kemdikbud,” ucapnya.
Kuliah umum yang dilangsungkan pada Jumat (17/09) lalu menghadirkan Dr. Tubagus Solihuddin, M.T., sebagai pemateri. Ia merupakan peneliti madya di Pusat Riset Kelautan, Badan Riset dan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, KKP RI dengan fokus riset di geomorfologi dan sea level rise.
Tubagus mengawali pemaparan materi mulai dari evolusi pembentukan Kepulauan Indonesia. Pembentukannya sudah dimulai sejak 50 juta tahun yang lalu di masa Eosen awal sampai 5 juta tahun lalu di masa Pliosen awal.
“Pembentukan ini tak lepas dari berbagai teori yang disampaikan para ahli. Batuan yang membeku merekam sifat magnetik saat proses pembentukannya yang menguatkan teori pengapungan benua Alfred Wegener. Selanjutnya, Harry Hess menggambarkan pemekaran dasar samudera dengan menentukan umur batuan dan paleoseanografi. Selain itu, pergerakan lempeng bumi juga memberikan pengaruh,” terangnya.
Berbagai proses pembentukan ini akhirnya membentuk gugusan Kepulauan Indonesia sedemikian rupa. Bentuk fisik alam Indonesia sangat dipengaruhi proses tektonik yang terjadi. Indonesia berada di antara empat benturan lempeng tektonik yang membuatnya dianugerahi banyak gunung api.
“Aktivitas seismik dari gunung api ini dikontrol oleh pola tektonik. Proses ini juga memicu beberapa patahan aktif yang dapat dipetakan oleh para ahli,” ungkapnya.
Selanjutnya, ia menerangkan tentang sea level dan dinamika pesisir. Empat belas ribu tahun yang lalu, Paparan Sunda dan Paparan Sahul adalah daratan yang terhubung. Begitu juga dengan Papua dan Australia. Ketinggian muka laut di zaman itu masih berada 120 m lebih rendah daripada kondisi saat ini.
“Ada beberapa hal yang dapat memengaruhi perubahan muka air laut, seperti mencairnya es di kutub, kenaikan suhu air laut, deformasi, penurunan, ataupun pengangkatan dasar samudera, dan pertukaran air permukaan dengan air tanah,” tuturnya
Mangrove dan terumbu karang dapat menjadi indikator perubahan sea level ini. “Mangrove dan terumbu karang akan mengalami adaptasi dengan kenaikan muka air laut. Ada sebagian yang akan bertahan, sebagian lainnya akan sulit mengimbangi perubahan. Apakah Jakarta dan berbagai pulau di Indonesia akan tenggelam beberapa tahun yang akan datang? Jawabannya masih terus dikaji oleh para pakar dan peneliti,” ujar Tubagus di akhir pemaparan.
Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)