Lima Mahasiswa ITB Wakili Indonesia dalam Penghargaan Quarry Life Award 2016 3rd Edition di Belgia
Oleh Anin Ayu Mahmudah
Editor Anin Ayu Mahmudah
Tentang Quarry Life Award
QLA merupakan kompetisi internasional yang diadakan oleh HeidelbergCement Group, perusahaan material bangunan multinasional yang berkantor pusat di Heidelberg, Jerman. Perusahaan ini menggelar ajang dua tahunan bernama Quarry Life Award dengan mengikutsertakan negara-negara yang menjadi kantor cabang HeidelbergCement Group salah satunya di Indonesia dengan nama PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
Ajang QLA 2016 3rd Edition ini merupakan bentuk upaya dari perusahaan penambang quarry untuk terus meningkatkan kesadaran akan nilai keanekaragaman hayati di lokasi tambang dan bersama-sama mencari terobosan baru untuk peningkatan perbaikan kedepannya. Lokasi tambang yang dibahas di sini adalah quarry atau sistem tambang terbuka yang dimanfaatkan untuk menambang endapan bahan mineral industri salah satunya bahan perekat yang ada dalam material pembentuk semen. Setiap peserta lomba diwajibkan membuat penelitian dan gagasan dalam membangun lahan reklamasi - pengembalian fungsi lahan - di sekitar quarry.
Bukan Perkara Jenius, Tapi Kerja Keras
Bermula dari kegelisahan Nelvi mengenai topik Tugas Akhir (TA) yang secara kebetulan bertepatan dengan diadakannya QLA Exhibition, sebuah bentuk sosialisasi dari panitia QLA 2016 ke kampus ITB tepatnya di Teknik Pertambangan pada bulan Januari 2016 lalu, akhirnya Nelvi memanfaatkan kesempatan untuk mengikuti QLA 2016 karena kompetisi ini memfasilitasi pesertanya untuk melakukan survey lapangan dan cukup sinkron dengan topik TA yang ia rencanakan. Sebelum dikumpulkannya proposal kepada pihak panitia, peserta QLA 2016 melakukan observasi ke lokasi quarry yang berada di Citeureup, Hambalang. Usai kegiatan observasi, Nelvi bersama Hafshoh pun mulai membentuk tim bersama Ihya, Dendy dan Ali.
Kelimanya berkumpul dan mulai mengerjakan ketiga topik tersebut, kurang lebih 1 minggu pengerjaan akhirnya proposal dikirim ke panitia QLA 2016. Dari 424 proposal yang masuk, panitia menyeleksi 16 besar proposal terbaik yang selanjutnya akan maju ke babak presentasi proposal. Meskipun awalnya merasa minder, akhirnya tim ini dapat menyelesaikan babak 16 besar dan tanpa mereka duga dapat masuk ke dalam 5 tim terbaik yang akan melanjutkan kompetisi ini ke babak berikutnya yaitu presentasi progres dan final.
Bukan hal mudah mencapai posisi 5 besar, selain karena menjadi satu-satunya tim yang masih undergraduate diantara tim-tim lain yang beranggotakan dosen, mahasiswa S-3, pihak-pihak dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tim ini banyak mengalami kesulitan dan tantangan dalam proses mereka mengikuti serangkaian lomba ini yang durasinya hampir satu tahun yakni sejak Januari 2016 hingga November 2016.
"Ketika kita masuk ke 5 besar, tiba-tiba salah satu juri ada yang mendatangi kami dan berkata bahwa kami ini sombong," ujar Nelvi. Juri tersebut berujar kepada tim mereka, "Saya tahu kalian dari ITB, tapi sepintar-pintarnya kalian, pengalaman itu segalanya. Kalian harus cari pembimbing untuk minta diskusi dan masukan." Dari teguran juri tersebut, akhirnya Nelvi, Ali, Ihya, Hafshoh dan Dendy menemui Prof. Tati Suryati Syamsudin, salah satu profesor di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) untuk meminta beriskusi dan meminta bimbingan mengenai topik paper mereka yag berjudul "Study of Soil Arthropods and Earthworms Biodiversity as Bioindicator for Reclamation Succes at Quarry Hambalang - PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk."
Melalui diskusi dengan Prof. Tati, tim ini mendapat banyak masukan untuk memperbaiki penelitian mereka yang awalnya masih sangat simpel menjadi sangat kompleks sampai di titik mereka sempat berpikir "Apakah mungkin kami bisa menyelesaikan project ini?" Setelah berbagai upaya yang dilakukan dan diusahakan, ternyata tantangan mereka tidak berhenti sampai di situ. Laptop yang menyimpan setengah dari data-data penelitian hilang ketika dibawa dalam perjalanan. Merasa tidak ada harapan, mereka sudah berusaha ikhlas namun tetap berusaha sebaik mungkin menyelesaikan project mereka sampai akhir.
Akhirnya, di hari presentai final, panitia mengumumkan bahwa Tim ITB berhasil memperoleh juara 3 setelah tim dosen pertanian UGM dan pihak KLHK. "Rasanya benar-benar tidak menyangka, kami udah speechless ketika kami diumumkan mendapat juara 3," ujar Nelvi. Ali sendiri mengungkapkan, "Rasanya lomba ini sangat menantang, apalagi pembimbing kami selalu menekankan "Kalian ini membawa nama institusi (ITB)" membuat kami merasa agak takut apabila kami nanti justru mempermalukan nama ITB di depan tim-tim lain."
Bukan kejeniusan yang mengantarkan tim ini ke panggung kemenangan, tapi kerja keras dan doa yang tidak pernah putus dari kelimanya. Di sesi penutupan final presentation, ternyata Tim ITB lah yang berhasil merebut juara pertama di tingkat internasional untuk kategori "Biodiversity and Habitat Research." Dan diundang untuk menerima penghargaan di Belgia pada Desember mendatang.
"Kami pikir, yang akan mewakili Indonesia ya yang mendapat juara pertama. Tapi ternyata juri internasional memiliki penilaian lain dan justru tim kami lah yang berhasil mewakili Indonesia," ujar Nelvi. Di akhir sesi wawancara Nelvi menceritakan, "Yang menarik dari lomba itu bukan cuma aplikasi dari kuliah atau tegangnya adu bagus saat presentasi, tapi juga link. Kita bisa mengenal baik banyak orang dari latar belakang yang berbeda. Kita bisa mendiskusikan hal serius dengan sangat santai. Kalau kuliah doang, kita nggak bisa kayak gitu. Lebih dari itu, saya tuh pengen nunjukin bahwa keilmuan kami itu banyak dipake loh di luar sana. Salah, kalo orang bilang biologi itu nggak banyak aplikasinya," tutup Nelvi.