Lombok Diterpa Gempa Beruntun, Volkanolog ITB Berharap Tak Berpengaruh pada Aktivitas Gunung Rinjani

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

Foto: Wikipedia (Gunung Rinjani)

BANDUNG, itb.ac.id -- Volkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman Dr.Eng. ST., MT., berharap, kejadian lima kali gempa beruntun yang terjadi di Lombok Nusa Tenggara Barat tidak mempengaruhi aktivitas vulkanik Gunung Rinjani. Mengingat pusat gempa tersebut sangat dekat dengan Gunung Rinjani.

Seperti diketahui, lima gempa signifikan mengguncang tanah Lombok dalam waktu kurang dari satu bulan. Pada 29 Juli gempa berkekuatan 6.4 skala Richter di kedalaman 13 km menjadi gempa pembuka. Seminggu berselang, pada 5 Agustus Lombok diguncang kembali dengan kekuatan 7 skala Richter di kedalaman 32 km.

Setelah itu, terjadi gempa-gempa dengan kekuatan yang lebih kecil namun sesekali diselingi oleh gempa dengan kekuatan yang lumayan besar. Yaitu gempa berkekuatan 5.9 SR pada kedalaman 16 km yang terjadi pada 9 Agustus 2018 dan terakhir yang baru saja terjadi pada 19 Agustus 2018, gempa dengan kekuatan 6.3 SR di kedalaman 14 km pukul 11.10 serta dengan kekuatan 6.9 di kedalaman 10 km.

"Dalam penjelasan saya sebelumnya, ada tiga gunung api aktif di sekitar Lombok, yaitu Gunung Agung, Tambora dan Rinjani. Dua nama terakhir saat ini berada dalam kondisi stabil, artinya kecil kemungkinan gempa di Lombok akan memberikan efek dan membuat kedua gunung api tersebut erupsi," kata Mirzam dari Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi dan Geokimia, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB.

Namun untuk Rinjani, Mirzam mengatakan, jika melihat sejarah letusan setidaknya sejak awal tahun 1900-an hingga sekarang letusan pertama terjadi pada 1915 kemudian disusul berurutan 1944, 1966 dan 1994, yang kemudian juga disusul oleh letusan-letusan kecil tahun 2004 dan 2009. 

"Ada pola letusan yang menarik sejak 1915 hingga 1994, rata-rata intervalnya adalah 26.3 tahun.  Artinya Rinjani akan mempunyai pola perulangan letusan jangka panjang sekitar rentang waktu tersebut. Jika letusan terakhir yang cukup besar terjadi tahun 1994 dan interval letusan yang dimilikinya 26.3 tahun, maka artinya Rinjani baru akan 'menyapa' kita di awal tahun 2020-an," katanya. 

Menurutnya, letusan kecil saat 2004 dan 2009 tentu telah berperan juga dalam mengurangi akumulasi energi. Dia mengungkapkan sepertinya pada 2020 pun aktivitas Rinjani sulit untuk mengalami peningkatan. "Masyarakat Lombok, semoga diberi kekuatan dan kesabaran menghadapi gempa ini. Begitu pun Rinjani, bertahanlah untuk tidak 'menyapa' kami semua saat ini," katanya.

Berita Kiriman : Mirzam Abdurrachman Dr.Eng. ST., MT.