LPM ITB, Production Housenya ITB
Oleh
Editor
Studio itu terletak di Gedung TVST ITB Lantai 2. Ukurannya sekitar 5 x 8 m, dilapisi karpet warna biru dan berdinding putih. Peralatan yang ada di sana cukup lengkap, antara lain 3 buah kamera 3CCD, mixer video 4 channel plus monitornya, mixer audio, komputer grafis, clip on, touch screen infocus, peralatan lighting, dan lain-lain. Tidak banyak yang tahu ada ruangan seperti itu di ITB. Di luar studio, Primus nampak sedang asyik mengedit film di komputer. Dialah yang menjabat sebagai Koordinator LPM (Layanan Produksi Multimedia) ITB, pemilik studio itu.
Wajar saja kalau banyak yang belum tahu tentang LPM ITB, karena unit ini baru berdiri pada bulan Juli 2007 atas kerjasama USDI (Unt Sumber Daya Informasi) dan TVST (Televisi Saluran Terbuka) ITB. Adalah Hendi, Primus, dan Sahala yang menjadi pionir didirikannya LPM. “Sudah saatnya di ITB ada unit produksi khusus servis multimedia dan audio visual,” kata Primus yang merupakan alumni Teknik Elektro ITB. “Kebutuhan sudah banyak, tapi dari ITB belum ada yang menyediakan, biasanya dikerjakan oleh mahasiswa.”
Kebanyakan anggota LPM adalah alumni ITB yang saat kuliah bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa yang berkaitan dengan audio visual, yaitu LFM (Liga Film Mahasiswa) dan GTV (Ganesha TV). Hendi Wahyu yang menjabat sebagai Manajer LPM adalah pendiri GTV pada tahun 2000, sedangkan Sahala adalah anggota LFM. Primus sendiri mengaku, walaupun tidak pernah secara resmi bergabung dengan kedua unit tersebut, tapi sering diajak bekerja sama. Anggota resmi yang terikat kontrak ada 9 orang, biasanya kalau ada proyek barulah LPM melakukan outsourcing.
Konsep LPM sendiri sebenarnya sudah ada sejak lama. TVST yang sekarang lebih dikenal sebagai gedung kuliah umum di ITB dulu digunakan untuk kuliah jarak jauh dan tele conference. Ruangan studio itu pun sudah ada sejak tahun 1979. “Clipperboard itu sudah ada 30 tahun lho,” kata Primus sambil menunjuk sebuah clipperboard di sudut studio.
Kegiatan rutin LPM adalah mendokumentasikan kegiatan-kegiatan ITB, tentunya dengan angle dan editing yang bagus layaknya production house profesional. Sampai saat ini masih dibangun sistem untuk meng-upload hasil dokumentasi itu di website dan bisa diakses oleh semua orang, jadi semacam digital library. Studio digunakan untuk membuat company profile dan voice over kuliah jarak jauh. “Studio di semua stasiun TV Bandung nggak ada yang ngalahin studio ini,” kata Primus, bangga. Kadang LPM juga menerima proyek membuat berbagai film atau dokumentasi di luar ITB. “Paling seru waktu meliput debat calon Ketua Ikatan Alumni ITB di Gedung Sate, bisa mindah-mindahin furnitur dan ngatur Gubernur biar dapat angle yang bagus,” katanya lagi.
“Sukanya kalau orang mengerti nilai suatu dokumentasi,” jawab Primus ketika ditanya suka-dukanya bekerja di LPM. “Kaset kosong itu harganya cuma Rp. 35.000,00, tapi kalau sudah ada isinya jadi nggak ternilai.” Untuk dokumentasi sehari penuh, LPM mematok harga Rp. 8 juta. Sedangkan dukanya, “Kalau kami dibilang kemahalan dan cari untung, padahal satu set kamera itu harganya sudah Rp. 50 jutaan.”
Walaupun latar belakang pendidikannya bukan broadcasting, Primus mengaku senang bekerja di LPM. “Ini wadah saya untuk kreatif,” katanya sambil menceritakan gol besar LPM, yaitu menjadi sumber segala hal yang berkaitan dengan multimedia di ITB dan bisa diakses oleh semua orang.