Manusia Jadi Aspek Pertama yang Diperhatikan dalam Mendesain Akustik Ruang
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Program Studi Arsitektur, Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) mengundang Ir. Anugrah Sabdono Sudarsono, S.T., M.T., Ph.D, IPM, Dosen Fakultas Teknologi Industri, Kelompok Keahlian Fisika Bangunan, Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai narasumber pada Kuliah Umum: Prinsip & Strategi Optimalisasi Akustik Ruang, Selasa (28/9/2021).
Anugrah mengawali kuliah umumnya dengan bertanya kepada partisipan terkait hal pertama yang harus diperhatikan saat mendesain akustik ruangan? “Aspek yang perlu diperhatikan adalah manusia,” jelasnya. Manusialah yang kemudian menggunakan dan melakukan aktivitas di dalamnya. Selain akustik, mendesain suatu ruangan perlu memerhatikan sisi termal dan visual.
Soundscape adalah sebuah pendekatan yang digunakan dalam mengevaluasi hubungan antara manusia dan lingkungan suaranya. Ada hal yang diterima, dialami, atau dipahami dalam konteks tertentu. Lingkungan akustik didefinisikan sebagai suara dari sumber suara yang dimodifikasi oleh lingkungan.
Hubungan manusia dan lingkungannya dipengaruhi oleh empat aspek. Pertama adalah konteks lingkungan yaitu terkait tujuan mendesain ruangan dan aktivitas yang dilakukan di dalamnya. Kedua, persepsi lingkungan. Hal ini berkaitan dengan perasaan atau persepsi yang ingin disampaikan melalui ruangan tersebut.
Aspek selanjutnya adalah sumber suara, yaitu berkaitan dengan mengidentifikasi kenyamanan pendengaran manusia atas suatu sumber suara. Sumber suara negatif merujuk pada bising. Konteksnya dapat berupa level suara yang terlalu keras (>80db) atau suara yang dari sisi level tidak tinggi tetapi mengganggu seperti suara nyamuk saat mau tidur. Aspek terakhir adalah lingkungan.
“Saat berbicara konteks akustik ruang sebenarnya kita akan membahas dua hal. Yang pertama bagaimana mengendalikan bisingnya. Kedua, bagaimana interaksi sumber suara dan lingkungan agar mencipatakan persepsi tertentu pada konteks tertentu,” jelas Anugrah.
Terdapat empat parameter untuk menggambarkan interaksi suara dan lingkungannya yaitu kebisingan ruangan, seberapa keras suara, seberapa merata suara, dan respons impuls.
Kebisingan Ruangan
Pengukuran kebisingan ruangan dapat memanfaatkan skala dBA dan noice criteria (NC). Skala dBA digunakan karena respons telinga kita pada suara tidak linear. Telinga manusia lebih responsif pada frekuensi sekitar 4000 Hz. “Nilai pembobotan A memberikan koreksi yang besar pada frekuensi rendah dan memberikan penambahan koreksi pada frekuensi yang lebih tinggi,” jelas Anugrah.
Noise criteria (NC) adalah sebuah parameter pengukuran pada frekuensi berbeda-beda. Untuk mengetahui nilai yang merepresentasikannya, dilihat nilai yang paling dekat di atas dan hampir bersinggungan pada kurva hasil pengukuran. Sebagai desainer, lebih mudah untuk menyatakan kebisingan ruangan dalam NC daripada memberikan keseluruhan data intensitas pada berbagai frekuensi.
Seberapa Keras Suara
Parameter ini memanfaatkan tingkat tekanan suara dari sumber suara. Terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, nilai suara utama harus lebih besar daripada background noise, yaitu berselisih minimal 10-15 dB. Aspek kedua adalah aman, yaitu suara harus dibawah 80 dBA. Ketiga, yaitu manusia memilki preferensi masing-masing. Misalnya untuk musik yaitu 74-80 dBA tergantung tipe musiknya.
Aspek keempat berkaitan dengan sistem tata suara. “Kondisi akustik yang baik bukan berarti tidak menggunakan sistem tata suara. Kita menggunakan sistem tata suara sesuai kebutuhannya. Pada konteks ini kita membutuhkan sistem tata suara untuk meningkatkan suara sumbernya supaya bisa terdengar dengan jelas,” jelas Anugrah.
Kemerataan Suara
Kemerataan suara dibutuhkan pada beberapa tempat seperti di rumah ibadah dan ruang kelas. Berbeda dengan kantor tapak terbuka, ruang perawatan, dan perpusatakaan, tempat-tempat tersebut diminimalisir kemerataan suaranya. “Kebayang kalo misalnya suaranya merata disitu, saat perawat sedang ngobrol suaranya bisa didengar di sisi pasien. Itu yang kita hindari,” jelas Anugrah.
Beberapa tahun lalu, Anugrah menghitung kemerataan suara pada suatu gereja. Aturan praktisnya adalah ruangan yang digunakan untuk berjalan didesain selisih suara paling kerasnya tidak lebih dari 5-6 dB sedangkan pada ruangan yang orang-orang di dalamnya tidak berpindah bisa sampai 10dB dengan catatan di posisi yang lebih rendah, nilai dBnya masih lebih tinggi daripada bising latar belakang.
Respons Impuls
Pengukuran respons impuls digunakan untuk mendapatkan parameter waktu dengung dan kejelasan suara. Waktu dengung adalah tingkat tekanan suara di ruangan untuk meluruh sebesar 60 dB. Definisi lainnya adalah waktu yang dibutuhkan suara keras di ruangan supaya tidak terdengar saat sumber suara dimatikan. Waktu dengung dipengaruhi oleh dua hal yaitu koefisien absorbsi rata-rata dalam ruangan dan luasan permukaan di dalamnya.
Semakin besar volume ruangan, semakin tinggi rekomendasi waktu dengungnya. “Dari SNI terlihat nilainya berbeda-beda. Untuk studio misalnya, 10.000 m3, itu ada disekitar 0,7. Tapi kalau rumah ibadah itu diijinkan sampai 2,1 detik,” jelas Anugrah.
Kejelasan suara dapat diukur dengan beberapa parameter. D50 adalah parameter kejelasan suara ucap. Pengukurannya bisa diturunkan dari waktu dengung. Ada parameter lain, yaitu C50. Angka 50 merepresentasikan rasio energi di 50 milidetik. D50 adalah rasio energi antara 50 milidetik awal dan semua energi, sedangkan C50 yaitu rasio energi di 50 milidetik awal dan sisanya.
Reporter: Amalia Wahyu Utami (Teknik Fisika 2020)