"Mbatik Manah": Melihat Batik Lebih Dekat
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Dalam rangka ulang tahunnya yang ke 34, unit Persatuan Seni Tari dan Kerawitan Jawa (PSTK) ITB menggelar serangkaian acara bertemakan "Mbatik Manah" -bisa diartikan secara harafiah "Membatik untuk Hati". Sebuah rangkaian acara menarik yang hendak melihat batik lebih dekat, dari sisi filosofisnya. Mencoba mengembalikan sisi filosofis batik yang mulai dilupakan.
Batik memang sudah sangat akrab bagi masyarakat Indonesia, terutama kalangan masyarakat Jawa. Penggunaan Batik juga terus meluas. Sayangnya, dibalik sisi positif itu, banyak terjadi defiasi terhadap esensi batik. Misalnya, penggunaan batik pola tertentu yang tidak tepat pada suatu acara, pemakaian batik yang salah. "Kami mengambil tema Batik karena penggunaan Batik itu sudah mulai universal. Namun, dalam penggunaannya, terdapat banyak salah kaprah," tutur Radius Bhayu Prasetiyo, Ketua Panitia acara ini, "Banyak kesalahan prinsip yang tidak sesuai dengan esensi batik itu sendiri dan tradisi."
Acara yang digelar seluruhnya di Aula Barat ITB ini dilaksanakan selama dua hari berturut-turut, 1-2 April 2005. Selama dua hari ini, diadakan pameran batik. Uniknya, PSTK berhasil memamerkan sekian banyak batik dari berbagai pola dan berbagai daerah. Beberapa malahan merupakan kain batik langka yang harganya sangat tinggi. "Kebanyakan meminjam dari kolektor," ungkap Radius. Di sisi kiri Aula Barat, dijejerkan batik Solo. Sementara itu, di sisi kanannya dipamerkan berbagai batik Yogyakarta dan batik Pesisir, seperti dari daerah Diawali dengan Lasem, Cirebon, dan Pekalongan.
Menurut Radius, tiap batik memiliki polanya masing-masing. "Misalnya, batik Parang Kesumo," tuturnya sambil menunjuk pada sebuah kain batik yang dipamerkan, "Batik ini dulunya adalah batik ekslusif yang hanya bisa digunakan oleh keturunan Keraton. Batik ini, secara esensial diperuntukkan bagi putri yang belum menikah."
Hari pertama juga diselenggarakan sarasehan yang membahas mengenai batik tulis. Batik tulis berharga tinggi karena eksklusivitasnya. Satu batik bisa dibuat sangat unik untuk seseorang. Dalam seminar ini juga dibicarakan mengenai filosofi batik, penggunaannya, serta perawatannya.
Pada hari kedua, diselenggarakan workshop pembuatan kain batik. Peminat workshop ini cukup banyak, 41 orang -walaupun sebagian besar adalah wanita. Setelah diberikan materi sekitar satu jam, para peserta langsung dibawa ke sisi luar Aula Barat untuk mengerjakan sebuah pola Batik yang masih sangat sederhana. "Yang diperlukan adalah jam terbang yang tinggi," tutur Sudjono, instruktor dalam workshop ini, ditanya mengenai hal yang terpenting dalam keahlian membatik. Pria setengah baya yang memiliki galeri batik di jalan Martadinata ini juga mengungkapkan bahwa keahlian mencanting itu memerlukan kesabaran. (Canting adalah alat yang digunakan untuk menggoreskan malam yang cair ke kain) "Canting itu rapidonya orang Jawa," katanya sambil tertawa. "Kejiwaan. Feeling itu juga sangat menentukan," tambahnya.
Sebagai penutup dari serangkaian acara bertemakan batik ini, diadakanlah pertunjukkan Subali Lena. Kisah pendek ini diangkat dari salah satu rangkaian kisah panjang epos Ramayana, yang berceritakan mengenai perseteruan antara Subali dan Sugriwa, memperebutkan Dewi Tara karena kesalahpahaman. Pertunjukkan diadakan pada hari Sabtu malam, 2 April 2005.
Rangkaian acara PSTK ini memang hendak melihat batik lebih dekat; menggugah kembali penggunaan Batik yang tepat dan sesuai tradisi. Hendak merevitalisasi kembali makna filosofis batik yang mulai terlupakan dan tergilas oleh pragmatisme dunia modern yang ingin serba praktis dan cenderung melupakan tradisi.
antonius krisna murti