Memiliki Empat Titik Strategis, Indonesia Mampu Menjadi Poros Maritim Dunia
Oleh Luh Komang Wijayanti Kusumastuti
Editor Luh Komang Wijayanti Kusumastuti
Menurut Son Diamar, Indonesia masih berorientasi pada daratan, seharusnya dengan visi kemaritimannya, Indonesia diharapkan mampu berperan penting bagi maritim dunia. Indonesia sudah sesuai geopolitik, geostrategis, dan geografinya sebagai negara kepulauan untuk menjadi poros maritim dunia. Negara ini memiliki empat titik strategis yang dilalui 40% kapal-kapal perdagangan dunia yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Makassar yang bisa memberikan peluang besar untuk memfasilitasi Indonesia menjadi pusat industri perdagangan serta pelayaran maritim dunia.
Tantangan sekaligus peluang yang dihadapi berupa derasnya arus globalisasi serta perubahan paradigma sektor industri dunia. Sudah banyak industri yang berskala global. Dalam hal ini, Son Diamar mencontohkan industri mobil. Bagian-bagian untuk membentuk satu mobil tidak diproduksi di satu negara saja, melainkan di negara-negara lain. Kemudian negara produsen tersebut akan mencari negara tengah yang strategis, yaitu Indonesia. Kemudian dari Indonesia diberangkatkan kembali ke pasar.
Untuk menghadapi hal tersebut, Indonesia sudah harus siap dengan sumber daya manusia dan teknologinya untuk menerima kapal-kapal luar negeri. "Anak-anak Indonesia sudah harus siap dan harus digunakan sebagai tenaga kerja di industri tersebut, mereka harus diajarkan keterampilan yang sesuai," ungkap Son Diamar. Untuk melayani kapal-kapal industri tersebut, titik maritim dunia harus diletakkan di dekat alur laut. Berdasarkan penelitian Bappenas, Indonesia memiliki 18 titik maritim dunia.
Dalam paparannya yang bertajuk 'Mewujudkan Negara Kepulauan yang Maju, Makmur, Adil, Kuat, dan Mandiri' Son Diamar juga mengingatkan adanya lima pilar pembangunan maritim untuk dikembangkan. Pertama, membangun SDM, budaya, dan iptek kelautan unggulan dunia. Kedua, mengembangkan ekonomi perikanan, pariwisata, ESDM, pelayaran, dan konstruksi kelautan. Ketiga, mengelola wilayah laut, menata ruang terintegrasi darat, dan laut serta mengembangkan kota-kota 'bandar dunia' menggunakan prinsip berkelanjutan. Keempat, pembangunan sistem pertahanan dan keamanan berbasis geografi negara kepulauan. Kemudian yang terakhir adalah mengembangkan sistem hukum kelautan.
Potensi Indonesia yang besar tersebut, mulai dari sumber daya alam hingga letaknya yang strategis disebut Son Diamar sebagai Negeri Maha Kaya. "Tetapi, penduduk miskin Indonesia masih belum berkurang. Tentu ada kesalahan. Saatnya ITB membuat perumusan kebijakan dan terobosan menghadapi hal ini," lanjut Son Diamar. Alumni Perencanaan Wilayah Kota ITB 1972 ini kemudian menampilkan data yang menyatakan ekonomi Indonesia masih terjajah. Berbagai sektor masih sebagan besar dikuasai oleh asing. Seperti sektor perkebunan, hasil laut, pertambangan, bank swasta, pelayaran, penerbangan, dan telekomunikasi.
Dalam membangun ekonomi pelayaran, Son Diamar menjelaskan perlu adanya integrasi antara pajak fiskal, industri dalam negeri, sistem dan manajemen pelabuhan, modal, serta sumber daya manusia. "Harus dilakukan membangun negeri tanpa uang negara di lokasi-lokasi strategis. Banyak cara baru yang bisa kita tempuh, mulai dari manajemen aset dan rekayasa uang untuk dijadikan modal," jelasnya.
Diskusi kelompok terarah yang dipimpin oleh Prof. Roos Akbar ini dilanjutkan dengan pemaparan hasil riset para civitas academica ITB yang berkaitan dengan kelautan dan kemaritiman. Topik riset yang dipaparkan antara lain mengenai minyak laut, hukum batas laut, desalinasi air laut, serta pengangkutan logistik. Kemudian acara ini diakhiri dengan sesi diskusi untuk saling berbagi pendapat.