Mengenal Matematika Epidemiologi dalam Penanganan Wabah Penyakit

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id – Matematika memiliki banyak manfaat untuk kehidupan. Di bidang kesehatan, matematika ternyata memiliki peran dalam mempelajari penyebaran suatu wabah penyakit yang berbahaya. Bidang kajian mengenai hal tersebut dikenal dengan matematika epidemiologi.


Matematika epidemiologi yang dimaksud adalah model matematika yang mempelajari tentang pencarian sumber, penyebaran, pola, dan strategi penanganan dari sebuah wabah. Hal tersebut disampaikan Dr. Nuning Nuraini dari KK Matematika Industri dan Keuangan dalam Seri Kuliah FMIPA-ITB, di Auditorium CC Timur, Sabtu (9/3/2019).

Nuning menjelaskan, fungsi matematika epidemiologi ini memang bisa dipakai untuk menganalisis suatu wabah selama fenomenanya itu memiliki sumber dan cabang-cabang atau biasa disebut node. Metodenya pun bisa dijelaskan secara sederhana. Ilmu ini memanfaatkan metode SIR (Susceptible, Infectious, Recovered) sebagai alat analisanya. Metode ini membagi kelompok dalam populasi sebagai potensi terinfeksi (S), terinfeksi (I), dan di luar dari kedua kategori tersebut (R), baik sembuh maupun meninggal.

“Ini mirip kan kalau kita analogikan sama demam artis? Kalau dalam populasi sedari awalnya tidak ada yang ngefans sama boyband tertentu semua orang masih berpotensi. Ketika ada fans berat masuk populasi tersebut, sangat mungkin ada orang lain yang ikut (alias terinfeksi) ataupun lama kelamaan akan bosan (sembuh/meninggal),” tutur Nuning mengilustrasikan.

Menurut Nuning, ilmu ini sangat bermanfaat dan memiliki dampak besar, terutama dalam penanganan wabah penyakit. “Kita bisa lihat sekarang, masyarakat Indonesia kembali dihantui kasus demam berdarah, ITB tentu tidak diam saja, tim yang mewadahi keilmuan ini turut bekerja dan ikut memberikan saran dan solusi pencegahan,” ungkap Nuning. 

Ia menyampaikan berdasarkan hasil kalkulasi yang dilakukan saat menganalisis tentang tingkat pertumbuhan dari populasi nyamuk Aedes Aegypti, diperoleh hasil bahwa ada selang dua bulan antara puncak musim hujan dan tingkat puncak pertumbuhan nyamuk. “Ini tentu akan sangat membantu untuk pelaksanaan fogging yang efektif dan efisien serta tepat sasaran,” tambahnya.

Tidak hanya itu, ITB juga pernah membantu pemerintah DKI Jakarta dalam mencari sumber penyakit diare yang mewabah di Jakarta. Saat mengerjakan ini, tentu saja metode SIR tidak akan cukup, perlu dibantu metode lain yaitu teori graf dalam menganalisa cabang-cabang (node). “Untuk melakukan analisa ini, kita juga perlu melakukan beberapa analisa, termasuk kombinasi dari analisa temporal (berdasarkan waktu) dan analisa spasial (berdasarkan lokasi),” jelas Nuning. Hasilnya, Jakarta sekarang telah dilengkapi dengan sistem deteksi dini untuk wabah penyakit tertentu.

Kedepannya, yang akan semakin menjadi tantangan adalah memanfaatkan keilmuan matematika epidemiologi dengan keterlibatan aspek-aspek yang lebih kompleks yang bisa dilihat langsung, misalnya, mobilitas masyarakat dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Hal ini tentu akan lebih sulit dalam melacak sumber wabahnya. Ia juga menyebutkan beberapa aspek kompleks lainnya, seperti coinfeksi-superinfeksi dan model internal.

Reporter: Ferio Brahmana (Teknik Fisika 2017)