Menilik Kembali Perjalanan Eksplorasi dan Penelitian Gunung Berapi di Indonesia Sejak Tahun 1800-an

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id — Indonesia sebagai salah satu negara yang dilewati oleh cincin api, sudah sejak lama menjadi objek utama para geologis dunia untuk melakukan penelitian tentang gunung berapi. J. T. Van Gorsel, seorang geologis dari Geoscience Research, Houston, Texas, mencoba menilik kembali perjalanan para peneliti terdahulu ini dalam kuliah umum Kapita Selekta 1 (GL5002) yang berjudul “Exploring and Observing Volcanoes in Indonesia in the 1800s-early 1900s” pada Kamis (15/9/2022).

Dalam penjelasannya, Van Gorsel menerangkan, Indonesia memiliki kurang lebih 125 gunung berapi aktif yang mayoritas tersebar di sekitar Busur Sunda-Banda, Busur Sulawesi Utara-Sangihe, dan Busur Halmahera Barat. Mulai tahun 1970-an, para peneliti dan geologis dari seluruh dunia berbondong-bondong ke Indonesia untuk mengungkap sejarah serta mempelajari karakteristik gunung-gunung tersebut.

Ia menceritakan, pada awalnya para peneliti Eropa hanya fokus pada struktur dan aktivitas gunung berapi di Indonesia. Lama-kelamaan, para peneliti ini mulai beralih ke studi pencegahan bencana melalui pengembangan berbagai metode untuk memprediksi erupsi. Van Gorsel membagi rentang penelitian terhadap gunung berapi di Indonesia menjadi lima generasi.

“Saya coba membagi periodisasi penelitian gunung berapi di Indonesia menjadi 5 periode. Pertama, penelitian oleh pengamat amatir yang hanya tertarik pada wujud gunung berapi. Lalu kita menjadi lebih serius ketika naturalis Eropa ikut terlibat saat periode kedua dimulai. Pada generasi ketiga, penelitian sudah mulai ditangani oleh profesional, yaitu para geologis dan insinyur pertambangan. Generasi keempat dan kelima merupakan tahapan perkembangan paling massif karena didukung dinas nasional terkait dengan peneliti-peneliti asli Indonesia juga,” jelasnya.

Pada generasi pertama, gunung berapi hanya dijadikan sebagai objek ilustrasi atau penjelasan dari buku-buku kartografi yang sedang diminati kala itu. Beberapa gunung berapi yang muncul dalam buku kartografi pada era VOC antara lain Gunung Krakatau dalam buku "Atlas Maior" dan Gunung Gamalama dalam buku "Oud en Nieuw Oost-Indien".

Pada generasi setelahnya pun penelitian gunung berapi belum dilakukan secara profesional dan sistematis. Namun perkembangan terlihat dari sisi pemosisian gunung berapi sebagai objek utama penelitian, walaupun skemanya masih sederhana.

Memasuki generasi ketiga sekitar tahun 1880-1920 penelitian resmi tentang gunung berapi pertama dilakukan oleh geologis dan insinyur pertambangan dari Geological Survey yang dipimpin oleh R.D.M. Verbeek. Selama penelitiannya, Verbeek berfokus pada sebaran dan karakteristik geologi wilayah. Selama erupsi Krakatau tahun 1883, Verbeek meneliti dan mendokumentasikan kejadian tersebut yang membuatnya semakin dikenal dunia.

Penelitian generasi keempat yang terjadi antara tahun 1920-1949 ditandai dengan dibentuknya Departemen Survei Vulkanologi (Vulkaanbewakingdienst) di bawah Dinas Pertambangan Hindia Belanda (Mijnwezen). Lahirnya departemen ini merupakan tindak lanjut dari erupsi Gunung Kelud pada tahun 1919 yang memakan lebih dari 5000 korban jiwa. Tugas pokok Vulkaanbewakingdienst adalah menyusun skenario mitigasi, peta zona bahaya, alur evakuasi, dan melakukan program monitoring pada beberapa gunung berapi prioritas.

“Periode generasi keempat merupakan kunci penelitian gunung berapi di era modern. Dari sini mereka mulai fokus melakukan monitoring dan menyusun laporan hasil survei aktivitas gunung berapi. Namun penelitian hanya dilakukan oleh pegawai-pegawai kunci dari Vulkaanbewakingdienst itu sendiri,” Van Gorsel menuturkan.
Setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, penelitian gunung berapi terus dilanjutkan hingga sekarang dengan sistem yang lebih komprehensif. Beberapa modal utama pengetahuan yang didapat dari penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mayoritas gunung berapi di Indonesia merupakan bagian yang unik dari masing-masing busur magma.

Magma yang dihasilkan dari gunung berapi Indonesia merupakan pertengahan dari tipe Pasifik dan tipe Mediterania. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa gunung berapi di seluruh wilayah Indonesia secara umum bersifat sangat eksplosif serta membawa breksi dan abu sebagai material letusan. Oleh karena itu, kerusakan dan korban letusan gunung berapi mayoritas tidak disebabkan oleh lava, namun aliran piroklastik dan lahar.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)

Sumber foto: freepik