Meningkatkan Potensi Penangkapan Ikan di Gorontalo dengan Penempatan Rumpon
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
Tim dari ITB tengah berdiskusi dengan masyarakat di Pelabuhan Gentuma terkait penggunaan rumpon. (Foto: Dok.ITB)
BANDUNG, itb.ac.id—Laut Sulawesi termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 716. Wilayah tersebut memiliki potensi perikanan yang melimpah sehingga dijadikan basis penangkapan komoditas ekonomis dan pemijahan ikan. Di laut Sulawesi, nelayan menggunakan rumpon untuk mengumpulkan ikan di suatu tempat agar mudah ditangkap. Meskipun demikian, berdasarkan penelitian mengenai pemasangan alat bantu ini di Teluk Tomini, dapat disimpulkan bahwa rumpon belum efisien dalam meningkatkan hasil penangkapan.
Apabila ditinjau dari perspektif pemangku kebijakan, penggunaan rumpon juga memiliki sejumlah persoalan. Pasalnya, nelayan sering memasang rumpon dalam jumlah yang tidak terkendali demi meningkatkan potensi hasil tangkapan ikan. Selain itu, banyak rumpon yang tidak mereka daftarkan sehingga pengelolaannya menjadi tidak efektif karena bertentangan dengan data. Potensi overfishing dapat menimbulkan bahaya karena menyebabkan stok ikan yang tidak berkelanjutan.
Aturan tentang rumpon sebenarnya telah tercantum dalam Peraturan Menteri KP no 26/2014 tentang Rumpon. Regulasinya terkait dengan jumlah kepemilikian rumpon yang dibatasi maksimal tiga, atraktor dari bahan yang mudah terurai, serta jarak antar rumpon adalah sejauh 10 mil laut. Pada kenyataannya, nelayan hanya mengikuti syarat bagian atraktor dan hal ini diduga disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang dampak negatif rumpon apabila tidak dikelola, minimnya pengawasan, dan tidak adanya sanksi.
Di sisi lain, bagi nelayan, kepemilikan rumpon yang banyak juga tidak menjamin hasil tangkapan yang melimpah, terutama saat terjadi fenomena ‘arus pisau’, alat mereka bisa dengan mudah hilang terbawa arus. Oleh karena itu, pada 28 Juni—10 Juli 2022, Tim KK Hidrografi FITB ITB mengadakan kegiatan pengabdian masyarakat untuk mengoptimalkan penempatan rumpon. Harapannya, solusi ini dapat meningkatkan hasil tangkapan ikan di Pelabuhan Gentuma, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.
Salah satu metode ex situ yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya potensi perikanan adalah dengan citra satelit penginderaan jauh. Proses deteksi dilakukan melalui pengamatan tiga parameter utama, yakni sebaran klorofil dalam permukaan air, keberadaan thermal front, dan keberadaan fenomena upwelling.
Thermal upfront dan upwelling merupakan nilai turunan yang diekstrak dari citra yang mengandung informasi Suhu Permukaan Laut (SPL). Informasi SPL dapat diukur secara langsung selama satelit memiliki sensor termal inframerah. Di Indonesia, data-data ini sudah disampaikan secara berkala dalam bentuk informasi Zona Potensi Perikanan Indonesia (ZPPI) yang dikelola oleh Lapan.
Overlay data dilakukan untuk mendapatkan lokasi rumpon yang optimal. Berdasarkan hasil tersebut, diperoleh bahwa ada 10 rumpon yang masuk pada area berbahaya sehingga perlu diberi perhatian lebih saat ‘arus pisau’ terjadi.
Gabriella Alodia, Ph.D., yang tergabung dalam tim ITB juga mengungkapkan area-area rekomendasi penempatan rumpon yang baik. “Penempatan harus bebas dari area rawan arus pisau, terdapat potensi perikanan sepanjang tahun, dan juga masih masuk di daerah administrasi Provinsi Gorontalo,” jelasnya.
Survei lapangan di pelabuhan turut dilakukan untuk memvalidasi data arus dan mendapatkan informasi yang jelas mengenai penggunaan rumpon oleh nelayan. Rupanya, banyak nelayan di Pelabuhan Gentuma mengeluhkan hasil tangkapan ikan yang tidak optimal akibat peraturan kepemilikan rata-rata 10 rumpon. Mereka biasanya melakukan penangkapan secara 1 day fishing sehingga membutuhkan banyak rumpon. Rumpon di Provinsi Gorontalo umumnya memiliki biaya operasional yang beragam, disesuaikan dengan kedalaman lokasi penempatannya. Misalnya, rumpon yang ditempatkan di kedalaman 3.000 hingga 4.000 meter di Teluk Tomini memerlukan biaya sampai Rp80 juta dan perawatan untuk mengganti rakit setiap 5-6 bulan sekali.
Gabriella kemudian berbicara tentang alat bantu lain yang sempat digunakan untuk mencari ikan berdasarkan data prediksi dari Lapan. Pada 2017-2019, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Gorontalo mengalokasikan unit handphone khusus bagi para nelayan dengan masa berlaku data 3 hari. Alur informasi ZPPI berawal dari Lapan, kemudian disampaikan kepada pusat komando di dinas terkait dan disebarkan kepada nelayan. “Akan tetapi, keakuratan data masih diragukan oleh para nelayan dan risiko yang dipertaruhkan cukup besar,” sebut Gabriela.
Pihak Lapan mengaku data ZPPI sangat membantu untuk mengarahkan nelayan dalam menangkap ikan. Setelah berada di lokasi, nelayan dapat menggunakan pengalaman dan pengetahuan pribadinya untuk melihat variabel, lalu membuat keputusan.
Sementara itu, nelayan laut Sulawesi berharap informasi ZPPI dapat dibuat lebih spesifik menjadi per spesies ikan atau berdasarkan kemampuan alat tangkap. Sebagai bentuk evaluasi, Lapan mengadakan bimbingan teknis mengenai data ZPPI di suatu wilayah tertentu. Biasanya, verifikasi bersama nelayan terdekat dilakukan untuk membuktikan kebenarannya. Hasil bimbingan membuktikan keakuratan informasi ZPPI melalui verifikasi visual dan penggunaan alat bantu fish finder.
*Artikel ini telah dipublikasi di Media Indonesia rubrik Rekacipta ITB, tulisan selengkapnya dapat dibaca di laman https://pengabdian.lppm.itb.ac.id
Reporter: Sekar Dianwidi Bisowarno (Rekayasa Hayati, 2019)