Merangkul AI di Era Digital: Tantangan dan Peluang bagi Pendidikan

Oleh M. Naufal Hafizh

Editor M. Naufal Hafizh

BANDUNG, itb.ac.id - Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar webinar bertajuk “AI for Educators”, Jumat (21/6/2024) dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang kecerdasan buatan (AI) di kalangan akademisi. Dalam webinar tersebut, salah satu topik yang diangkat yaitu “Seni Mengajak Orang untuk Merangkul AI” oleh Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A., pakar seni dan humaniora ITB, yang membahas hubungan antara AI dan manusia, terutama dalam konteks kebudayaan dan pendidikan.

Terdapat beragam jenis kecerdasan, seperti kecerdasan ruang, verbal, bahasa, matematika, tubuh, musik, interpersonal, naturalistik, hingga eksistensial. Prof. Yasraf mengatakan, AI saat ini mampu meniru beberapa jenis kecerdasan tersebut, terutama yang berkaitan dengan pengolahan data dan analisis.

Namun, beliau menekankan bahwa ada sejumlah aspek kecerdasan manusia yang masih sulit dijangkau AI. Seperti kecerdasan eksistensial dan spiritual, serta kecerdasan yang melibatkan moral dan etika, yang hingga kini belum dapat sepenuhnya direplikasi AI. Selain itu, kemampuan dalam berimajinasi, merasa, mencintai, dan mengimani, yang menjadi nilai-nilai fundamental dalam kemanusiaan adalah hal yang membedakan manusia dengan AI.

Prof. Yasraf pun membahas evolusi teknologi dari masa ke masa, dari teknologi yang diciptakan untuk mengatasi tantangan alam hingga teknologi yang diciptakan untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh teknologi lainnya. Menurutnya, teknologi selalu muncul karena dipicu oleh beragam hal.

Berdasarkan pemicu ini, teknologi dan manusia dapat dibagi menjadi tiga orde. Orde pertama adalah ketika teknologi berada di antara pengguna (manusia) dan pemicu diciptakannya teknologi yaitu faktor alamiah (alam). Contohnya, kendala pada alam untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai pemicu melahirkan teknologi seperti bajak, roda, ataupun payung.

Orde kedua adalah teknologi yang menghubungkan penggunanya bukan lagi dengan alam, melainkan dengan teknologi lain, atau dengan kata lain teknologi yang dipicu oleh teknologi lain namun masih tetap dikendalikan oleh manusia. Misalnya, kebutuhan untuk menjadikan mobil bersih yang akhirnya mendorong untuk ditemukannya teknologi mesin cuci mobil.

   

Beliau menggambarkan teknologi orde ketiga sebagai orde ketika teknologi mulai berkembang secara eksponensial, orde ketika keterantaraan teknologi dan manusia menghubungkan teknologi itu sendiri sebagai pengguna dan teknologi lainnya juga sebagai pemicu. Dengan kata lain, teknologi diciptakan dan dimanfaatkan oleh teknologi itu sendiri, yang cenderung mengurangi peran manusia dalam prosesnya. Misalnya robot otonom yang menggunakan teknologi tertentu yang mendorong teknologi lainnya berkembang.

Terkait hadirnya AI, beliau menjelaskan, bahwa tantangan terbesar yang akan dihadapi manusia adalah mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bisa dilakukan oleh teknologi. Meskipun AI dapat melakukan banyak tugas yang dilakukan manusia, terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap menjadi domain eksklusif yang membedakan manusia dengan AI.

Beliau pun membahas konsep seni algoritmik, saat AI dapat menciptakan karya seni tetapi dengan cara mereduksi esensi seni itu sendiri. Misalnya, sebuah puisi, tidak hanya seni permainan kata, tetapi di dalamnya terkandung emosi, cinta, dan lain-lain yang tidak dapat dijangkau oleh AI. Meskipun AI bisa membantu dalam proses kreatif, namun peran manusia sebagai pencipta utama tidak bisa diabaikan.

Kolaborasi antara manusia dan AI menjadi solusi yang ditekankan beliau. Dalam banyak situasi, AI dapat berfungsi sebagai alat bantu yang memperluas kemampuan manusia, namun bukan menggantikan peran manusia sepenuhnya.

"AI dan manusia mestinya saling memperkuat. Manusia menciptakan gagasan dan mengajak AI untuk berkolaborasi dalam proses pengembangan," tuturnya.

Beliau mengajak para pendidik untuk merangkul AI sebagai alat yang dapat membantu dalam tugas sehari-hari, namun tetap menekankan pentingnya sentuhan manusia dalam setiap aspek pendidikan. Prof. Yasraf berharap dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, manusia dan nilai-nilai kemanusiaan harus tetap menjadi sentral yang menjadi esensi dari pembelajaran itu sendiri.

Iko Sutrisko Prakasa Lay (Matematika, 2021)