Mereka yang Peduli....
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
”Pendidikan bukanlah milik sebuah lembaga. Pendidikan seharusnya berasal dari rakyat demi regenerasi bangsa. Pendidikan pun bukan saja tanggung jawab instansi pemerintah saja. Tapi milik kita semua, bangsa yang menghargai dirinya sendiri. Kepedulian terhadap pendidikan Indonesia harus tumbuh dari tiap benak penerus bangsa.”
Pendidikan Indonesia kini menjadi sorotan utama. Tingkat putus sekolah yang tinggi, tingkat ikutsertaan sekolah yang rendah dan minat baca rendah menjadi fakta-fakta yang menyedihkan bagi bangsa ini. Bayangkan saja, hanya 2% anak-anak Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang SLTP. Fakta-fakta ini tampaknya membuka mata beberapa mahasiswa ITB. Mereka pun tergerak untuk mengadakan kegiatan-kegiatan dalam bidang pendidikan. Siapa dan bagaimana kiprah mereka akan tersaji pada beberapa seri tulisan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2006.
Pendidik-Pendidik Muda (1):
Namanya Puti. Cukup dikenal sebagai Puti saja, tanpa embel-embel lain. Gadis manis asal Jakarta ini terdaftar sebagai mahasiswa ITB sejak tahun 2001. Ia tercatat sebagai mahasiswi Teknik Mesin, salah satu dari lima mahasiswi waktu itu. Tanyalah apa saja tentang pendidikan, pasti ia tahu. Bagaimana tidak, gadis penyabar ini sangat peduli pada pendidikan Indonesia. Mulai dari kebiasaan mengajar anak-anak di sekitar rumahnya di Dago, membuat Taboo dengan Hari Belajar Bersama, sampai menjadi guru. Guru muda yang suka bercerita ini bahkan bercita-cita mendirikan sebuah sekolah.
Sejak masih berseragam sekolah, Puti telah tertarik pada masalah pendidikan di Indonesia. Tapi pikirannya baru terfokus ke arah sana sejak ia ikut berkontribusi pada Kabinet Mahasiswa (KM) Alga (2002). ”Dari KM, aku kenal banyak orang dan akhirnya ikutan unit PSIK. Di sini aku sering berdiskusi masalah pendidikan,” ujar Puti membuka pembicaraan sore itu. PSIK yang dimaksud Puti ialah salah satu unit kegiatan mahasiswa yang memiliki kepanjangan, Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan. Selanjutnya, ia bergabung dalam kepengurusan KM selanjutnya (Mustofa) dan masuk dalam divisi Pengabdian Masyarakat (PM). ”Nah, aku sudah mulai melakukan banyak hal di sini. Tapi aku enggak puas! Setiap kegiatan selalu dibatasi oleh birokrasi!” keluh Puti.
Namun, melalui PM inilah pertama kalinya ia mengunjungi sekolah tempatnya mengajar sekarang. Sekolah itu setingkat SLTP dan bernama MTS AL-Huda, berada di daerah Dago Atas. Kunjungan ini memperkenalkannya pada Kepala Sekolah waktu itu, Ibu Tuti. Menurut Ibu Tuti, sekolah itu didirikan demi kepentingan sosial karena tidak ada sekolah tingkat SLTP di daerah tersebut. Selain itu, sekolah itu dibangun demi kepentingan penduduk setempat. Jumlah pengajarnya hanya 6 sampai 8 orang, dengan gaji kecil. Satu guru bisa mengajar tiga kelas. ”Sekolah itu ’kan berdiri demi kepentingan sosial, jadi dananya tidak banyak. Guru-gurunya pun banyak yang masih guru tidak tetap,” jelas Puti.
Kondisi yang memprihatinkan ini memicu pemikiran-pemikiran baru dalam benak Puti. ”Waktu itu, aku semakin yakin bahwa aku harus melakukan sesuatu di bidang ini (pendidikan—red). Tapi aku masih bingung harus berbuat apa,”kenang Puti. Seorang sahabat, Tribaskoro (TK’97) yang sama-sama anggota PSIK mendorong Puti untuk terjun langsung mengajar. ”Aku ngasih tulisan ke Tribas tentang semua pikiran-pikiran yang ada hubungannya sama pendidikan dari dalam otakku. Tribas pun menyodorkan jalan yaitu, aku harus terjun langsung dan berjuang demi pendidikan. Akhirnya, aku yakin untuk melakukan ini semua. Mau ngajar, buat kegiatan belajar bersama atau apa pun yang berhubungan dengan pendidikan pasti akan aku kerjakan!” seru Puti seraya tersenyum simpul.
Akhirnya, Puti memutuskan untuk kembali ke MTS Al-Huda sebagai guru pengajar. Puti menawarkan diri sebagai guru fisika dan matematika tanpa dibayar. Ia pun mengajar saat jadwal kuliahnya kosong. Tak berapa lama setelah ia masuk, Ibu Tuti meninggal dan posisinya digantikan oleh anaknya. Jumlah muridnya masih sangat sedikit. Murid Puti sendiri dulunya 18 orang, kini berkurang menjadi 16 orang saja. Murid kelas 1 dan kelas 2 saja harus digabung karena jumlahnya sangat sedikit.
Pertama kali mengajar, Puti tidak tahu harus memulainya darimana. Ia pun harus belajar beradaptasi dan mengatasi berbagai macam karakter siswa kelas 3 yang sudah mulai masuk masa puber. ”Berhadapan dengan anak,kita harus jadi aktor. Harus tahu kapan waktu yang tepat untuk marah dan bersabar. Aku sangat jarang marah. Marah pun bukan asal saja, tapi demi menegakkan displin dan demi kebaikan si anaknya sendiri,” ungkap Puti.
Menurut Puti, sebagai mahasiswa ITB sebenarnya banyak kisah dan pengalaman yang bisa kita bagi anak-anak seperti muridnya. ”Mereka itu sebenarnya sangat kurang informasi, karena sangat jarang bersentuhan dengan media. Kita bisa membagi banyak cerita, karena mereka bukan anak-anak sekolah kebanyakan. Bahkan, untuk membaca saja mereka yang setingkat kelas 3 SMP masih sering terbata-bata,” tutur Puti. Puti juga ingin menunjukkan dunia lain pada mereka. Kekurangan informasi membuat pandangan hidup mereka sangat sederhana. Ia ingin memberitahukan banyak hal yang terjadi di dunia pada mereka. Oleh karenanya, Puti beberapa kali menyusun praktikum-praktikum sederhana yang merangsang rasa keingintahuan mereka. Puti pun berencana mengajak mereka ke PLTA, Museum Geologi dan Pengamatan Burung.
Motivasi belajar juga menjadi langkah utama dalam proses mengajarnya. Sebagian besar muridnya mengalami masalah biaya karena sebagian besar berasal dari orang tua yang tidak mampu. ”Mereka banyak yang kesulitan biaya pendidikan. Sepulang sekolah pun biasanya mereka bekerja,” imbuh Puti prihatin. Permasalahan biaya juga membuat jumlah murid dalam kelasnya berubah-ubah. Selalu ada saja yang tidak masuk dengan alasan bekerja atau membantu pekerjaan orang tuanya. Puti pun harus pintar-pintar memilih topik ajaran karena mood belajar muridnya harus bagus. ”Kalau mood belajarnya enggak ada, pelajarannya gak mengena ke memori mereka. Makanya, aku selalu selingi pelajaran dengan cerita atau berbagi pengalaman,” jelas Puti.
Pemahaman bahasa muridnya menjadi masalah bagi pengajaran Puti. Bahasa daerah masih mengental dalam keseharian muridnya. Kebanyakan muridnya kesulitan menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar. Sampai saat ini Puti masih terus berusaha mengajak muridnya berbahasa Indonesia. Ia berharap mereka akan semakin terbiasa dengan bahasa Indonesia.
Keterbatasan alat belajar seperti buku dan alat praktikum menjadi masalah yang lain. ”Buku itu penting buat mereka balajar. Tapi, mereka tidak pernah punya buku karena tidak punya uang untuk membelinya. Aku pun akhirnya selalu memberikan fotokopi materi yang aku ajarkan tiap aku mengajar. Aku selalu berusaha membuat resume materi yang aku ajar hari itu dan selalu mengingatkan mereka untuk membacanya usai sekolah. Alat praktikum pun aku siapin sendiri, kalau tidak bisa ya..pinjam teman,” terang Puti. Buku bagi Puti, merupakan kebutuhan utama mereka sebagai pelajar. Buku yang dipakai Puti tidak melulu dari buku SMP pada umumnya. Biasanya buku wajib itu ia jadikan referensi materi yang sesuai dengan kurikulum Depdiknas. Puti lebih suka memberikan materi yang lebih aplikatif bagi muridnya.
Puti sebenarnya tidak terlalu senang dengan pelaksanaan pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan merupakan masalah urgent yang harus segera ditangani bangsa ini. Permasalahan utama ialah biaya pendidikan, pemberdayaan guru, gaji guru yang rendah, dan fasilitas. Mahalnya biaya pendidikan menyebabkan banyak murid ’lari’ keluar dari sekolah. Paling tidak, ada subsidi bagi masyarakat kurang mampu untuk bersekolah. Pemberdayaan guru juga harus ditingkatkan karena peran guru dalam pendidikan sangat besar. Gaji guru yang kecil seharusnya ditingkatkan agar kesejahteraannya terjamin. Guru pun akan sepenuh hati mengajar jika kasejahteraannya sudah lebih baik. Kemudian, sebaiknya ada fasilitas umum yang bisa diakses untuk belajar.
Setelah cukup lama mengajar, Puti pun mengajak teman-temannya untuk ikut mengajar. Tapi hanya dua sampai tiga orang saja yang ia rekrut sebagai pengajar. Alasannya, ia takut teman yang diajaknya kurang komitmen. ”Takutnya mereka enggak bisa ngajar terus. Kesannya ’kan mereka enggak komitmen. Padahal, ini berhubungan dengan masyarakat,” papar Puti. Sampai saat ini ia telah berhasil menarik dua orang temannya untuk terus mengajar di sekolahnya. Lantas, apa prinsip utama dalam mengajar? ”Pokoknya, mengajar dengan hati !” jawab Puti dengan antusias.
Melalui PM pula Puti berkenalan dengan teman-teman yang juga peduli pada pendidikan. ”Banyak lho teman-teman dari ITB lainnya yang peduli sama pendidikan. Tapi kebanyakan lebih tua dari aku, yah..angkatan ’97 sampai ’00. Teman-teman dari 2002 juga banyak. Ada yang buat perpustakaan, ngajar anak jalanan, ngajar anak autis, sampai tuna netra,”kata Puti. Mahasiswa-mahasiswa peduli pendidikan ini biasanya bergerak sendiri-sendiri atau bersama dalam satu grup. Satu grup pun tidak pernah lebih dari 5 orang. Siapa saja mereka? Kita akan mengupasnya dalam tulisan berikutnya!
(Imoth)