MoU ITB dan ASEAN Centre for Energy dalam Rangka Mendukung Sumber Energi Terbarukan yang Berkelanjutan

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


BANDUNG, itb.ac.id—Institut Teknologi Bandung (ITB) kembali menjalin kerja sama dengan ASEAN Centre for Energy (ACE). Kali ini, ITB dan ACE menjalin kooperasi dalam mendukung sumber energi terbarukan yang berkelanjutan.

MoU antara ACE dengan ITB sudah berlangsung sejak lama dan kini guna mendukung ACE dalam pelaksanaan APAEC Tahap II: 2021-2025, khususnya di bawah program area Kebijakan dan Perencanaan Energi Terbarukan dan Energi Daerah. Acara diselenggarakan secara luring di Hotel Sheraton Bandung, pada Senin (21/11/2022).

Pelaksanaan MoU juga disertai dengan acara workshop Dissemination Workshop on Solar PV + Studies and Implementations in ASEAN” yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pengembangan PLTS sekaligus forum diskusi bagi para profesional dan pembuat kebijakan di ASEAN untuk mengembangkan ide-ide baru dalam penelitian teknologi dan adaptasi kebijakan. Workshop ini akan dilaksanakan bersama dengan China Renewable Energy Engineering Institute (CREEI) untuk acara dua hari penuh di Bandung, Indonesia. ITB juga turut berpartisipasi aktif dalam workshop.

Sekretaris Institut, ITB Prof. Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo mengungkapkan rasa bangganya karena bisa bekerja sama dengan ACE dalam program Solar PV di ASEAN. ITB menjadi perguruan tinggi pertamma di Indonesia yang melakukan MoU dengan ACE sehingga secara tidak langsung, ITB menjadi pemimpin dalam transformasi efek transisi energi di Indonesia.

Prof. Widjaja juga mengatakan bahwa secara akademik, ITB selalu memantau perkembangan keilmuan dan siap untuk berkontribusi penuh dalam menyalurkan keilmuan untuk diaplikasikan ke permasalahan di masyarakat. Bersama dengan industri dan pemerintah, ITB siap ikut andil secara penuh dan aktif dalam inovasi teknologi.

“ITB selalu siap dan terbuka untuk berkontribusi penuh setiap inisiatif yang masuk dan kolaborasi proaktif untuk mendukung transisi energi ASEAN,” ungkap Prof. Widjaja.

Direktur Utama ASEAN Centre for Energy (ACE) Dr. Nuki Agya Utama mengatakan bahwa saat ini kita tengah menghadapi krisis pasokan dan permintaan akan energi. Bahkan, peristiwa pandemi di tahun 2020 menurunkan jumlah permintaan sebesar 30% dan mengganggu rantai pasokan. Sehingga, sumber energi terbarukan menjadi bagian terpenting untuk kembali mengamankan pasokan energi.

Kegiatan kolaborasi dan workshop ini menjadi tonggak pencapaian untuk berkolaborasi dan bekerja sama dari perspektif teknologi, pusat penelitian, akademik, dan pembuat kebijakan. Di tahun 2023, menjadi tahun pembuka untuk memberikan dan menerapkan solusi dalam sumber energi terbarukan di samping solar PV (sektor power), air, pertanian, dan perikanan juga bisa dikerjakan.

“Kolaborasi ini sangat penting bagi kami untuk membantu ASEAN dan memberikan solusi di masa depan bukan malah menjadi sumber masalah kedepannya,” ujar Nuki.

Sebelum penandatanganan MoU, acara dibuka oleh sambutan Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan, Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Andriah Feby Misna, S.T., M.T. Menurutnya, Solar PV adalah satu sumber daya terbarukan dan sangat cocok dikembangkan di negara tropis seperti di kawasan ASEAN. Potensinya yang besar menjadikan Solar PV menjadi prioritas utama sebagai bagian dari transisi energi dan dapat bermanfaat untuk mendukung Net Zero Emission di tahun 2060.

Pemasangan solar PV saat ini telah mencapai 82% dalam sepuluh tahun terakhir yang tersebar di seluruh negara ASEAN. Di tahun 2021, Vietnam menjadi negara terbesar pemasangan Solar PV yang mencapai 60,7 GigaWatt yang diikuti oleh Thailand, Malaysia, dan Filipina. Di tahun 2025, diharapkan total kapasitas energi solar PV telah mencapai sekitar 8000 gW. Sehingga, di tahun 2060 solar PV dapat menyumbang 60% energi dari 4000 GW total kapasitas energi terbarukan dalam rangka Net Zero Emission.

Andriah menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia menargetkan Solar PV menjadi pasokan energi primer dengan kapasitas daya terpasang sekitar 4,68 GigaWatt di tahun 2030. Hal ini dalam rangka pendekatan yang efektif untuk membantu pemulihan ekonomi setelah terpuruknya ekonomi negara akibat pandemi covid pada tahun 2020.

Reporter: Pravito Septadenova Dwi Ananta (Teknik Geologi 2019)