Nagabonar Nyasar ke ITB
Oleh Muhammad Arif
Editor Muhammad Arif
Tidak biasanya ruang 9009 yang dikenal dengan LFM dipenuhi berbagai wajah mahasiswa di hari Minggu. Apalagi diselingi dengan teriakan lantang para mahasiswi, “Toraaa!!Toraa!!!” Bukan hari Minggu biasa, memang tapi inilah yang terjadi hari Minggu lalu, 29 April 2007 saat Liga Film Mahasiswa (LFM), Keluarga Mahasiswa (KM) ITB bekerjasama dengan Dreams of Indonesia menggelar bedah film Nagabonar jadi 2. Acara ini menghadirkan Kafi Kurnia dan tiga aktor pendukung film antara lain Deddy Mizwar, Tora Sudiro dan Lukman Sardi.
Kehadiran tiga aktor inilah yang mengundang antusiasme mahasiswa-mahasiswa ITB untuk datang. Dalam acara ini Kafi Kurnia bicara banyak mengenai manajemen film Nagabonar, mulai dari penyusunan skenario, alur film, promosi film dan sebagainya. Penyusunan skenario yang berlangsung selama empat bulan pun tidak mudah dilakukan karena banyak nilai-nilai kemanusiaan dan nilai nasionalisme yang ingin dimasukkan oleh Deddy Mizwar tapi harus dikemas dalam bahasa yang modern. Promosi film pun tidak hanya dilakukan lewat iklan-iklan biasa, tapi dengan pembuatan novel Nagabonar, roadshow film dan pembuatan kaus yang khusus dibuat oleh pabrik kaus kata-kata, Dagadu Jogja. “Di antara sekian banyak film Indonesia, cuma film ini yang punya kausnya sendiri,” ungkap Kafi Kurnia.
Dalam acara ini, Deddy Mizwar sebagai pencetus ide cerita dan sutradara banyak berbicara mengenai film sekuel Nagabonar, yang terkenal pada tahun ’80-an. “Film ini berangkat dari keprihatinan terhadap kurangnya nilai-nilai yang bisa diambil dari film-film saat ini,” tutur aktor kawakan ini dengan bijak. Film yang banyak mendapat pujian dari sineas perfilman Indonesia ini memang mengandung muatan nilai-nilai nasionalisme, kekeluargaan, sindiran terhadap gaya hidup metropolitan, dan lain-lain. Yang menarik, Tora Sudiro banyak mendapatkan kritik dalam acara ini karena aktingnya yang kurang memikat dan aksen Batak-nya yang kurang pas. “Soal aksen, itulah wajah anak metropolitan sekarang. Mulai melupakan kekayaan budaya sendiri,” bela Deddy. Selain bincang bintang, hadir pula wartawan Akmal Nasery B., wartawan senior Tempo yang menulis buku Nagabonar jadi 2.
Kehadiran tiga aktor inilah yang mengundang antusiasme mahasiswa-mahasiswa ITB untuk datang. Dalam acara ini Kafi Kurnia bicara banyak mengenai manajemen film Nagabonar, mulai dari penyusunan skenario, alur film, promosi film dan sebagainya. Penyusunan skenario yang berlangsung selama empat bulan pun tidak mudah dilakukan karena banyak nilai-nilai kemanusiaan dan nilai nasionalisme yang ingin dimasukkan oleh Deddy Mizwar tapi harus dikemas dalam bahasa yang modern. Promosi film pun tidak hanya dilakukan lewat iklan-iklan biasa, tapi dengan pembuatan novel Nagabonar, roadshow film dan pembuatan kaus yang khusus dibuat oleh pabrik kaus kata-kata, Dagadu Jogja. “Di antara sekian banyak film Indonesia, cuma film ini yang punya kausnya sendiri,” ungkap Kafi Kurnia.
Dalam acara ini, Deddy Mizwar sebagai pencetus ide cerita dan sutradara banyak berbicara mengenai film sekuel Nagabonar, yang terkenal pada tahun ’80-an. “Film ini berangkat dari keprihatinan terhadap kurangnya nilai-nilai yang bisa diambil dari film-film saat ini,” tutur aktor kawakan ini dengan bijak. Film yang banyak mendapat pujian dari sineas perfilman Indonesia ini memang mengandung muatan nilai-nilai nasionalisme, kekeluargaan, sindiran terhadap gaya hidup metropolitan, dan lain-lain. Yang menarik, Tora Sudiro banyak mendapatkan kritik dalam acara ini karena aktingnya yang kurang memikat dan aksen Batak-nya yang kurang pas. “Soal aksen, itulah wajah anak metropolitan sekarang. Mulai melupakan kekayaan budaya sendiri,” bela Deddy. Selain bincang bintang, hadir pula wartawan Akmal Nasery B., wartawan senior Tempo yang menulis buku Nagabonar jadi 2.