O2Go, Teknologi Penyediaan Oksigen Medis Gratis untuk Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG,itb.ac.id—Mahasiswa dan Dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) berkolaborasi menciptakan teknologi penyedia oksigen medis untuk Indonesia. Hal ini diusung atas permintaan Dinkes Kota Bandung kepada ITB untuk menciptakan inovasi mutakhir di kala pandemi. Inovasi yang dihasilkan atas kolaborasi mahasiswa Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD), Fakultas Teknik Industri (FTI), Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) dari ITB dan mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Unpad ini diberi nama O2Go.
Fandika Ikhsan (MS’18), project leader pada gerakan ini menceritakan, proyek ini telah berjalan sejak akhir Juni lalu, dimulai dengan riset dan reverse engineering ke berbagai daerah seperti Depok dan Bandung, riset melalui internet dan jurnal, trial and error dari prototype sederhana, hingga tahap upscaling prototype.
Kini tim O2Go sedang berfokus pada pengujian dan penelusuran zeolite dengan kualitas terbaik sebagai bahan filtrasi udara, perbaikan kualitas, dan volume oksigen per menitnya. “Normalnya, di dalam udara yang ada di sekitar kita, hanya terkandung 20 persen oksigen di dalamnya dan sisanya adalah zat-zat lainnya,” sebut Fandika.
Teknologi ini diproyeksikan mampu menghasilkan sepuluh liter oksigen per menit dengan kualitas oksigen mencapai 80 persen sehingga mampu memenuhi kebutuhan oksigen masyarakat dalam skala luas. Sedangkan O2Go masih dalam tahap adaptasi menghasilkan satu liter oksigen per menit dengan kualitas oksigen lebih 50 persen. Walaupun masih dalam tahap percobaan, riset, dan upscaling prototype, Fandika optimis dokumen dari riset produk ini dapat segera didistribusikan ke berbagai pihak untuk diproduksi bersama dan dikembangkan lebih jauh lagi.
“Di sini kami menekankan semangat open sources. Jadi, saat orang lain berlomba-lomba untuk komersialisasi suatu inovasi, kita di sini berencana untuk membuat sebuah dokumen yang bisa dibagikan ke kampus-kampus lain agar mereka bisa bikin produk ini dan saling berkembang saling improve,” tambah Fandika.
Selain itu, Muhammad Syaiful Hadi (MS’18) yang kerap akrab dipanggil Ipung selaku pimpinan tim publikasi menceritakan kolaborasi menarik yang terjadi pada proyek ini. Hal ini dikarenakan tidak hanya mahasiswa dari berbagai jurusan saja yang berpartisipasi, namun dosen juga ikut aktif berpartisipasi, baik secara langsung di lapangan maupun secara tidak langsung.
“Kolaborasi ini bisa dibilang tidak hanya ke atas dan ke bawah namun juga ke samping. Di sini dosen tidak hanya bekerja sebagai bos namun kita bekerja bersama di lapangan,” kata Ipung. Ia juga menyebutkan bahwa momen ini adalah momen yang langka karena sangat jarang dosen dari berbagai fakultas mampu bekerja sama sebelumnya.
Beberapa dosen yang terlibat memiliki pandangan dan harapan beragam terkait teknologi ini. Salah satunya adalah Vani Virdyawan, S.T., M.T., Ph.D., seorang dosen muda ITB yang baru saja menyelesaikan S3 di Inggris. Menurutnya, proyek ini menjadi ekosistem belajar baru di antara dosen dan mahasiswa. Selain itu, Fani juga berharap agar produk ini mampu bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan mahasiswa.
Tak hanya dosen muda ini, namun ada pula dukungan dan harapan dari Dr. Grandprix Thomryes Marth Kadja, M.Si. selaku Doktor termuda di Indonesia. Ia berpartisipasi dalam pembuatan absorbent zeolite untuk menyempurnakan proses penyaringan udara. “Karena untuk absorbent sendiri biasanya kita impor dari luar dan harganya mahal juga. Harapannya kita bisa membuat sendiri dari bahan dalam negeri yang juga berkualitas tinggi,” sebut dosen asal Kupang ini.
Reporter: Daffa Raditya Farandi (Kewirausahaan 2023)