Orasi Ilmiah Taufiq Hidayat: Aplikasi Teleskop Radio untuk Kemajuan Astronomi Indonesia
Oleh Neli Syahida
Editor Neli Syahida
"Kehidupan adalah suatu keniscayaan di alam," kata Taufiq mengawali orasi ilmiahnya. Pada akhir tahun 1930-an, Jan H. Oort membuat teleskop radio pertama di dunia. Sejak saat itu, perkembangan ilmu astronomi banyak bergantung dengan teknologi ini, khususnya bidang astronomi radio. Pengamatan dengan gelombang radio pada skala milimeter sangat berguna dalam mendeteksi molekul organik. Sejak diaplikasikannya teleskop radio berskala milimeter, Titan, satelit alam
terbesar milik Saturnus, menjadi idola bagi para astronom. Mereka berlomba-lomba untuk mengungkapkan kekompleksan atmosfer di Titan. Begitu juga Taufiq. "Objek yang menjadi target paling sering di dalam penelitian kami adalah Titan. Ia merupakan model atmosfer bumi primitif," tutur Taufiq.
Dalam sejarahnya, pada tahun 1989, NASA mengirimkan wahana antariksa yang diberi nama voyager, untuk mengamati Titan. Sayangnya, misi tersebut belum mampu mengungkap objek Titan. Kemudian baru-baru ini pada tahun 2004, misi berikutnya diluncurkan, yaitu misi pertama Cassini-Huygens. "Hingga sekarang misi tersebut masih berlangsung," ujar Taufiq. Seharusnya misi tersebut berakhir
pada tahun 2009. Namun, pada akhirnya NASA memutuskan untuk memperpanjang misi tersebut. Maka muncullah misi kedua Cassini-Huygens pada tahun 2010-2017.
Dari keberjalanan misi-misi tersebut didapatkan kesimpulan bahwa dalam atmosfer Titan terkandung molekul-molekul organik, di antaranya adalah asam sianida (HCN), karbon monoksida (CO), sianoasetilen, dan asetonitril. Pada titan, ditemukan juga adanya siklus metana yang dapat dianalogikan dengan siklus air di bumi. Hingga saat ini, Titan merupakan objek kedua di tata surya yang ditemukan memiliki likuid pada permukaanya, sementara yang lainnya masih sekadar dihipotesiskan.
Setelah misi Cassini, muncullah misi lainnya, yang disebut dengan ALMA (Atacama Large Millimeter/Submillimeter Array). Berlokasi di Atacama, Chili, misi ini merupakan misi gabungan dari beberapa negara, di antaranya adalah Amerika Utara, Eropa, Jepang, Kanada, Taiwan, Chili, Korea, dan Brazil. Taufiq sempat mengunjungi ALMA pada tahun 2011 untuk menjalin kerjasama penelitian. Ia bersama peneliti Perancis mengajukan proposal ke ALMA untuk proyek pemetaan Nitril di Band 6 dan 7, termasuk HCN, HC3N, dan CH3CN. Proposal tersebut diterima dan diklasifikasikan ke dalam The Highest Priority Proposal.
Rencana Pembangunan Observatorium Nasional di Kupang
Setelah beroperasi kurang lebih 80 tahun, Observatorium Bosscha yang berlokasi di Lembang dirasakan telah mengalami urbanisasi yang cukup signifikan. Polusi cahaya merupakan dampak langsung urbanisasi yang sangat mempengaruhi observasi benda-benda langit. Oleh karena itu, Taufiq dan tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu mulai merintis berdirinya observatorium Nasional di daerah yang kondisi atmosfernya cocok untuk observatorium modern. Dari hasil analisis kecerahan, didapatkan bahwa kawasan yang tepat untuk mendirikan observatorium nasional adalah Kawasan Gunung Timau di Kabupaten Kupang. Keberadaan observatorium nasional ini diharapkan selain berfungsi sebagai tempat penelitian juga berfungsi dalam bidang sosial, seperti pengamatan hilal.
Berdirinya observatorium Nasional nantinya tidak lantas membuat Observatorium Bosscha berhenti beroperasi. Bosscha akan tetap menjadi homebase observatorium Indonesia dan berfungsi sebagai tempat pendidikan, perancangan program-program baru, dan pendesainan instrumen baru. Dalam rancangannya, di observatorium nasional nantinya akan dipasang teleskop radio. "Karena kita
akan mengembangkan astronomi yang multi-wavelength, bukan hanya astronomi optik, maka beberapa tahun terakhir di Bosscha juga dibangun peralatan teleskop radio yang sederhana," kata Taufiq. Di akhir orasi ilmiahnya, Taufiq menyampaikan ucapan terima kasih kepada keluarga, kolega, guru, dan para mahasiswanya.