Peluang Pemanfaatan Energi dari Biomassa Menurut Ahli Teknik Kimia ITB

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami


BANDUNG, itb.ac.id--Penggunaan energi terbarukan hanya mencapai 5% dari seluruh energi yang digunakan di dunia. Hal tersebut dipaparkan oleh Guru Besar Teknik Kimia ITB, Prof. Ir. Dwiwahju Sasongko, M.Sc., Ph.D., dalam acara LPPM ITB FGD Series Vol.1 : Biomass Thermal Conversion, Rabu (28/4/2021).

Pada kesempatan tersebut, Ia memaparkan materi mengenai torefaksi sebagai teknologi yang menjanjikan untuk pemanfaatan energi terbarukan. Di awal, Prof. Sasongko menunjukkan berbagai jenis energi yang paling banyak dikonsumsi di dunia.

Pada tahun 2019, Indonesia menjadi negara pengguna energi terbarukan terbanyak ke-14 di dunia. “Pemerintah juga menargetkan, pada tahun 2050 persentase penggunaan energi terbarukan di Indonesia bisa mencapai 31% dari seluruh sumber energi,” ujarnya.

Selanjutnya, ia memaparkan tentang biomassa dan torefaksi. Jenis biomassa yang akan lebih dimanfaatkan di Indonesia adalah waste biomass. “Untuk menghasilkan energi, kami tidak menebang tumbuhan segar, namun kami akan memanfaatkan residu dari industri pertanian,” ujarnya. Potensi biomassa di Indonesia bisa bersumber dari padi, jagung, singkong, karet, tebu, dan kelapa.

Torefaksi adalah suatu proses termokimia yang dilakukan pada temperatur 200-300°C dengan kondisi tanpa udara. Proses ini bertujuan untuk mengubah biomassa menjadi bahan bakar padat yang relatif mempunyai kandungan energi yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Biomassa yang diproses melalui torefaksi dapat membuahkan hasil yang memiliki kelembaban lebih rendah, kerusakan hayati yang lebih rendah, nilai kalori yang lebih tinggi, dan homogenitas yang lebih tinggi. Selain itu, proses torefaksi menghasilkan beberapa keuntungan seperti menghasilkan lebih sedikit sampah, lebih murah dari minyak bumi, mengurangi ketergantungan akan minyak bumi, dan menambah sumber pemasukan untuk produsen.

Pada FGD tersebut, Guru Besar dari Teknik Kimia UGM, Prof. Dr.Eng. Ir. Arief Budiman, M.S., memaparkan materi mengenai potensi pengembangan biomassa menjadi bio-compressed methane gases. “Biomassa dari limbah dan residu di Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan energi,” ujarnya. Sektor industri kehutanan menyumbang biomassa dari limbah dan residu terbesar di Indonesia.

Gas metana dari biomassa dapat diciptakan melalui proses termokimia dan proses biokimia. Beberapa perbedaan dari kedua proses tersebut di antaranya adalah proses termokimia menggunakan temperatur dan tekanan yang lebih tinggi dari proses biokimia. Lalu proses biokimia membutuhkan organisme dan katalis enzim, sementara proses termokimia hanya membutuhkan katalis logam.

Salah satu proses termokimia yang dijelaskan pada pemaparan materi ini adalah gasifikasi. Gasifikasi adalah suatu proses perubahan bahan bakar padat secara termokimia menjadi gas, di mana udara yang diperlukan lebih rendah dari udara yang digunakan untuk proses pembakaran. “Dalam proses gasifikasi ini, yang kami tinjau adalah bagaimana syngas menjadi metana,” ujarnya.

Terdapat empat proses utama dalam gasifikasi, di antaranya adalah drying, pyrolysis, combustion, dan reduction. Selain itu, juga terdapat tiga jenis gasifier untuk proses gasifikasi yaitu moving-bed, fluidized-bed, entrained-flow gasifier.

Di luar beberapa hal di atas, terdapat proses sabatier atau sintesis metana yang merupakan proses kimia secara termal yang mengkreasikan karbon dioksida dengan hidrogen menjadi metana dengan bantuan katalis di temperatur 250-300 derajat celcius. Sebagai kesimpulan, Prof. Arief memaparkan bahwa terdapat 146 juta ton biomassa yang dapat dikonversi menjadi energi pertahunnya. Selain itu Bio-metana dapat dimanfaatkan sebagai pengganti LPG dalam bentuk Bio-CMG dan juga dapat dimanfaatkan sebagai pengganti premium sebagai bahan bakar.

Reporter: Adi Permana dan Yoel Enrico Meiliano (TPB FTI, 2020)