Peran dan Tantangan Integrasi Antarmoda Transportasi dalam Menjamin Efisiensi Perjalanan dan Keberlanjutan Lingkungan Binaan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar webinar bertema “Integrasi Transportasi Antarmoda” dengan mengangkat studi kasus layanan kereta api Bandara Soekarno-Hatta dan kawasan di sekitarnya, Selasa (4/7/2023).
Dosen SAPPK yaitu Ibnu Syahri, B.Sc., M.Sc., Ph.D., dari Kelompok Keahlian Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota (KK SIWK) menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut.
Saat ini, hampir seluruh kota besar di Indonesia telah memiliki beragam moda transportasi yang berpotensi untuk diintegrasikan guna membentuk rantai perjalanan yang lebih efisien. Integrasi antarmoda ditujukan untuk menjamin perjalanan yang nyaman dan lancar, atau dalam pemaparannya Ibnu menyebut kondisi ini dengan integrasi antarmoda yang seamless.
Ibnu menjelaskan, integrasi antarmoda yang seamless diindikasikan dengan kemudahan masyarakat dalam melakukan perjalanan tanpa harus naik-turun atau berpindah moda transportasi dengan skenario yang rumit. Tidak hanya skenario moda, kelancaran rantai perjalanan juga diukur dari kemudahan pembayaran serta keamanan dan kenyamanan yang dirasakan masyarakat.
“Karena konektivitas yang jelek, selama ini tidak ada kepastian rantai waktu perjalanan sehingga orang hanya bisa berandai-andai. Sedangkan integrasi antarmoda akan semakin memastikan rantai waktu perjalanan kita,” ujar Ibnu.
Ibnu menggambarkan persoalan integrasi antarmoda melalui model yang disebut intermodality iceberg. Meskipun puncak persoalan yang terlihat di permukaan hanya terkait dengan kepuasan pengguna transportasi, namun nyatanya berbagai permasalahan yang lebih kompleks tersembunyi sebagai dasar gunung es yang tidak terlihat. Permasalahan-permasalahan ini antara lain menyangkut kurangnya infrastruktur antarmoda, sistem tarif yang terfragmentasi, lemahnya koordinasi stakeholder, hingga ketidakpastian pembiayaan.
Integrasi antarmoda yang beragam membutuhkan skema pembiayaan yang kompleks serta dukungan regulasi yang memungkinkan target tersebut terlaksana. Maka dari itu langkah ini membutuhkan koordinasi serta kerja sama berbagai stakeholder yang sifatnya multilevel dan multisektor. Aspek pembiayaan, regulasi, dan koordinasi ini nantinya dapat digunakan sebagai penentu motivasi awal dalam pembangunan kereta api Bandara Soekarno-Hatta serta sejauh mana proyek ini berhasil dijalankan sesuai studi kelayakan.
Ibnu menambahkan, “Kalau kita bicara motif, asumsi kami bahwa sejauh mana motif ini menjadi agenda ke depan, apakah ini memang ada perencanaan yang disadari oleh para stakeholder, atau sementara ini tidak menjadi prioritas.”
Menurut Ibnu, dalam setiap sistem integrasi yang menghadirkan multistakeholder di dalamnya, termasuk dalam hal ini integrasi antarmoda transportasi, harus mengandung 3 konsepsi dasar yaitu koordinasi, konektivitas, dan efisiensi. Ketiga konsepsi inilah yang coba dihadirkan dalam layanan kereta api Bandara Soekarno-Hatta sebagai upaya integrasi antarmoda di kawasan sekitar bandara. Kendati demikian, isu yang lebih kompleks seperti yang digambarkannya dalam model intermodality iceberg menjadi tantangan besar yang harus diantisipasi mulai dari sekarang.
“Setelah lima tahun berjalan, orang mulai mengeluh karena rendahnya ridership dari kereta bandara ini. Orang lebih memilih DAMRI atau taksi untuk ke bandara dari wilayah hinterland. Padahal di sekitar bandara ada 5 atau 6 moda yang potensinya besar sekali untuk diintegrasikan,” ujarnya.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)