Profesor Indra Djati Berikan Orasi Ilmiah tentang Standar Keamanan dan Keandalan Gedung Super Tinggi terhadap Bahaya Gempa di Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id –- Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki gunung berapi terbanyak dan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik terbesar di dunia. Maka dari itu, diperlukan suatu perencanaan khusus dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Guru Besar ITB, Prof. Indra Djati dalam orasi ilmiahnya yang berjudul “Keamanan dan Keandalan Gedung Super Tinggi Terhadap Bahaya Gempa di Indonesia” di Aula Barat Kampus ITB, Jalan Ganesha, Sabtu, (28/07/18).


Dipaparkan Prof. Indra, dalam pembangunan infrastruktur, pemetaan mengenai daerah gempa merupakan salah satu acuan dalam perencanaan pembangunan. Kecenderungan ditemukan patahan baru menyebabkan pertimbangan dalam pembangunan semakin berat.

“Kita tidak dapat memprediksi kapan, dimana, besaran dan magnitudo gempa yang akan terjadi. Maka dengan pendekatan probabilitas dan reliabilitas yang memvariasikan magnitudo gempa, pembangunan dapat direncanakan hingga batas aman atau tingkat risiko yang dapat diterima di bawah 1% menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 1726:2012 untuk umur gedung 50 tahun,” paparnya.

Kegunaan Peta Hazard Gempa dan Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) dalam merencanakan pembangunan gedung super tinggi sangat diperlukan. Fungsinya untuk informasi dalam penentuan gaya geser dasar gempa yang bekerja pada dasar gedung serta menentukan koefisien geser (Cs).

“Analisis Probabilitas Bahaya Seismik (PSHA) menjadi acuan dalam perencanaan dengan asumsi bahwa magnitudo merupakan variabel bebas, lokasi hiposentrum dan gempa terdistribusi sempurna, dan merupakan fungsi atenuasi tertentu yang melibatkan korelasi antara intensitas gerakan tanah, magnitudo, dan jarak dari sumber gempa. Fungsi ini disebut GMPE atau Ground Motion Prediction Equation,” ungkapnya.

Prof. Indra juga mengungkapkan adanya hubungan antara gaya lateral, persamaan gerak gedung dan Performance Based Design (PBD). Gaya lateral adalah gaya yang bekerja secara horizontal pada suatu gedung saat terkena gempa. Perhitungan gaya lateral melibatkan kekakuan struktur dan deformasi. Sedangkan persamaan gerak gedung dihitung dengan pertimbangan massa, redaman, kekakuan struktur, dan percepatan tanah akibat gempa.

Analisis pushover atau analisis untuk mengetahui perilaku keruntuhan struktur juga tidak dapat merefleksikan perilaku gedung untuk menahan gempa. Hal inilah menyebabkan PBD digunakan dengan memanfaatkan persamaan gerak gedung. Dalam PBD diperlukan input ground motion dan karakteristik material penampang, tulangan, mutu beton, dan mutu baja. 

"Input ground motion dapat dicari melalui riset dan pengukuran lapangan lalu data keduanya dikomparasikan untuk mencapai hasil yang optimum. Semakin banyak perhitungan ground motion membuat semakin banyak probabilitas sehingga akan terpetakan probability density function dari kapasitas atau yang dikenal dengan fungsi fragilitas,” paparnya.

Pemodelan Kegagalan Gedung Super Tinggi Akibat Gempa

Dalam teknik sipil, terdapat istilah Annual Hazard, yaitu probabilitas suatu besaran peak ground acceleration (PGA) atau ukuran permukaan bumi bergetar di daerah tertentu akibat gempa pertahunnya. PGA diperoleh melalui analisis PSHA. Besaran PGA lebih besar daripada kapasitas penampang, yang menyebabkan kegagalan struktur gedung sehingga probabilitas kegagalan dapat dihitung dengan cara mengintegrasikan suatu persamaan dalam fungsi kapasitas penampang. 

“Besaran probabilitas kegagalan juga dipengaruhi oleh umur gedung yang akan dibangun. Setelah kita menghitung berapa probabilitas kegagalannya, maka perencanaan gedung dapat dievaluasi dengan cepat dan sederhana,” jelasnya.

Prof. Indra Djati juga terlibat dalam pembangunan Proyek Thamrin Nine oleh PT. Wiratman bersama beberapa kawannya dari Kelompok Keahlian Rekayasa Struktur ITB terutama mengenai riset keamanan dan keandalan bangunan tersebut. Gedung ini memiliki 72 lantai, 6 basement dan tinggi sekitar 366 meter dari muka tanah. Perhitungan PBD dan PSHA telah dilakukan dan didapatkan risiko sebesar 0,0089% jauh dari 1%. 

"Penyusunan tulangan juga kami perhatikan sehingga saat gempa terjadi maka gedung tidak akan langsung roboh, namun melambai seperti pohon kelapa yang terkena angin. Kedepannya, Indonesia harus siap untuk membangun infrastruktur yang sesuai standar keamanan dan keandalan gedung demi mengurangi kerugian saat gempa benar-benar terjadi,” pungkasnya. 

Reporter: Billy Akbar Prabowo