Profil: Bapak Noorsalam R. Nganro, Direktur LAPI – ITB, Menggagas Penelitian di ITB: Konsep Selama Kuliah Harus Diwujudkan dan Diaplikasikan
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Profil: Bapak Noorsalam R. Nganro, Direktur LAPI – ITB
Menggagas Penelitian di ITB: Konsep Selama Kuliah Harus Diwujudkan dan Diaplikasikan
Malam itu (16/12) waktu sudah menunjukkan pukul 19.00 malam. Namun, Pak Noorsalam R. Nganro –atau akrab dipanggil dengan Pak Noor- masih bersemangat berdiskusi; walaupun sebenarnya beliau tepat baru pulang dari Jakarta. Pak Noor adalah Direktur Utama LAPI (Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia) ITB yang dalam struktur organisasi ITB, masuk dalam Satuan Usaha Komersial (SUK). Selain itu beliau juga sempat lama menjabat sebagai ketua LPPM (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) ITB –sekarang LPPM dipegang oleh wakil beliau-. Beliau juga pernah menjadi direktur PPAU (Pusat Penelitian Antar Universitas) ITB. Lewat organisasi-organisasi ini, Pak Noor “cari uang” bagi ITB. Dan terbukti, selama kepemimpinannya, arus uang yang masuk bagi ITB meningkat pesat. Namun, bukan itu yang utama. Penelitian-penelitian yang semakin pesat selama kepemimpinannya memicu inovasi dan mengembangkan ITB menjadi semakin baik. Berdiskusi mengenai penelitian dan kompetensi ITB dengan Pak Noor dijamin akan menjadi suatu diskusi yang menarik dan mencerahkan.
Sebenarnya, tahun awal sebagai mahasiswa ITB diawali Pak Noor muda dengan pindah jurusan. Awalnya, beliau adalah mahasiswa matematika. “Saya senang dengan hal-hal yang nyata; hal-hal yang riil. Waktu itu di (fakultas) matematika saya menemukan banyak yang abstrak.” Ketika itu, departemen Biologi adalah salah satu departemen yang pintunya terbuka. Prof. Estiti Bambang Hidayat, ketua jurusan Biologi saat itu memperbolehkan beliau masuk Biologi. Beliau lulus dari Biologi tahun 1983. Dan beliau, langsung ikut dalam program beasiswa S2 Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) mengambil program Biologi Lingkungan.
Setelah lulus S2 tahun 1985, beliau menjadi asisten staff pengajar di ITB, dibawah bimbingan Prof. Soelaksono. Pada tahun yang sama, Inter-University Center (IUC) –sekarang PPAU (Pusat Penelitian Antar Universitas)- mulai digodok dan diberkembang di ITB. Beliau ikut program beasiswa IUC dari World Bank dan direkomendasikan oleh Prof. Sulaksono –dosen pembimbingnya- untuk belajar mengenai Coastal Management. Tahun 1987 mengambil Master by course program Tropical Coastal Management di Newcastle Upon Tyne University, United Kingdom. Tahun 1988 beliau lulus dari master, dan langsung mengambil S3 mengenai Marine Sciences and Coastal Management pada universitas yang sama. Beliau lulus Ph.D tahun 1992 dan kembali ke ITB sebagai staff pengajar mata kuliah Ekologi Laut.
Selama mengajar di ITB, beliau banyak mengadakan penelitian, terutama mengenai budidaya tambak. “Saya ingin konsep ekologi yang saya miliki, bisa memiliki aplikasi nyata dan bisa memperkaya kuliah saya.”
Pada masa jabatannya sebagai sekretaris jurusan 1995-1996, Departemen Biologi berhasil mendapatkan bantuan “Project Center Grant World Bank” dan “Q Program”. Tahun 1997, oleh Prof. Lilik –Rektor ITB, saat itu- beliau ditunjuk menjadi direktur PPAU. Pada masa itu, kondisi PPAU masih memprihatinkan karena bantuan World Bank sudah berakhir. Di bawah kepemimpinannya, dan dibantu oleh Dr. Sukrasno (Departemen Farmasi) dan Dr. Nyoman (Departemen Biologi), beliau merekstrukturisasi PPAU.
Mereka memulai mengembangkan produk Simba (Simbiosis Mikroba); produk ini adalah mikroba probiotik yang berguna bagi tambak, peternakan, pertanian, dan sampah. Yang pada akhirnya berhasil menjadi produk pertama yang dipatenkan oleh Kantor Manajemen Haki (Hak Kekayaan Intelektual) ITB. Lima diferensiasi produk simba adalah Aqua Simba Laut (tambak), Aqua Simbade (perikanan darat), Nutri Simba (peternakan), Agri Simba (pertanian), Degra Simba (sampah).
Pengalaman lapangan beliau menjadi salah satu hal yang amat berperan dalam pengembangan simba. Waktu itu, produk probiotik yang banyak digunakan masyarakat adalah produk import. “Mikroba produk itu kan kebanyakan mikroba yang (berasal) dari daerah sub-temperate. Di sini bisa jadi spesies alien tuh!” ujar Pak Noorsalam mengenai bahaya produk probiotik import. Harganya pun jauh lebih murah. Simba dijual dengan harga Rp 7.500,00/liter; bandingkan dengan probiotik import yang harganya mencapai Rp 100.000,00/liter. Karena simba dan banyak proyek-proyek penelitian yang beliau kerjakan bersama rekan-rekan dosen membuat PPAU berkembang dan dapat berkontribusi bagi ITB.
Tahun 2001, pada masa kepemimpinan Dr. Kusmayanto Kadiman, beliau diangkat menjadi ketua LPPM (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat) ITB dan LAPI (Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia) ITB. Beliau berkeliling di departemen-departemen ITB untuk melihat dan mengetahui potensi apa yang dapat dikembangkan dan dapat dijual. “Orang-orang harus tahu bahwa ITB itu mampu!” Ketika berhubungan dengan dunia luar, Pak Noor mempublikasikan potensi dan teknologi ITB. Saat bertemu dengan orang yang membutuhkan teknologi tertentu, dan pengajar ITB bisa menyediakan dan mengembangkannya, beliau mempertemukan mereka.
Dalam kepemimpinannya, beliau berusaha mengembangkan kecendekiaan (scholarship) dalam empat arah: yaitu scholarship in application, scholarship in integration, scholarship in discovery, scholarship in teaching. Selain itu, dalam kepemimpinannya, berhasil dianggarkan dana dari ITB untuk penelitian sebesar 250 juta (2002), 500 juta (2003), dan 1,3 milyar (2004). “Tahun depan diharapkan meningkat lagi!” ujarnya. Tahun 2001-2002 hanya sekitar 250 pengajar ITB yang mengadakan kerjasama dengan pihak luar. Namun, sekarang, kerjasama dari pihak luar melibatkan hampir 800 pengajar ITB dengan omset pendapatan meningkat hingga tiga kali lipat. “Sekarang (omzetnya) sudah mencapai 300 milyar.”
Lewat peningkatan kerja sama dosen lewat LPPM dan LAPI –selain menghasilkan uang bagi ITB-, diharapkan banyak kegiatan dilakukan di dalam kampus sehingga membuat karyawan, mahasiswa, staff ITB ikut berkarya dan berprestasi. Selain itu, proses pengajaran menjadi lebih kaya dan berkembang. Lokakarya dan seminar ilmiah pun akan bertambah dan semakin sering.
Melalui LPPM dan LIPI, Pak Noor ingin membuat ITB menjadi lembaga mitra bagi industri-industri Indonesia. “Jadikan ITB menjadi R&D-nya Indonesia.” Karenanya, ITB perlu menyosialisasikan diri. Beliau sadar betul bahwa ITB adalah aset berharga Indonesia. ITB ini adalah dambaan bagi Indonesia. Maka, ITB harus membuktikan diri, bahwa ITB bisa menghasilkan sesuatu bagi Indonesia, dan kalau bisa bagi bangsa-bangsa di dunia.
Pengalaman beliau di LPPM –terutama dalam berinteraksi dengan staff pengajar ITB- menunjukkan bahwa ITB ini memiliki banyak pengajar yang berprestasi, berpotensi. Bahkan mereka sudah mewujudkan teknologi baru yang patut dihargai. “Tetapi, mereka perlu pengakuan secara institusi dari ITB untuk memotivasi mereka!” kata Pak Noor. “Jangan cuma beri uang; naikkan langsung pangkatnya; jangan nunggu mereka mengajukan kenaikan pangkat! Apresiasi! Berikan award! Nanti, kalau sudah dipatenkan, yang menikmati ya penelitinya!” Untuk mengembangkan potensi mahasiswa, perlu pula bimbingan dari para dosen. ITB bahkan harus menyalurkan dana riset pula bagi mahasiswa.
Pengabdian Pak Noor di ITB memiliki dimotivasi oleh rasa berhutang budi pada ITB. “Saya sudah dibesarkan oleh ITB. Saya merasa berhutang pada ITB. Maka, saya akan menjadi pelayan bagi ITB; menjadi servant!”
Selama mengabdi di ITB, kesukaan beliau adalah saat mempertemukan beberapa expert dan mereka menghasilkan sesuatu yang berguna; dan di antara mereka timbul saling kepercayaan. “Wah, (jika) itu (terjadi) saya seneng banget,” ujarnya bersemangat. Namun, beliau pun sedih karena kondisi di ITB terkadang masing egois dan tidak peduli. “Kedukaan saya karena banyak orang yang berprestasi, namun tidak diapresiasi. Dan juga, masih ada prilaku melecehkan satu-sama lain di ITB. Tidak peka untuk mengapresiasi. Jadi, keegoannya masih tinggi sekali. Saya melihat di ITB belum bisa dikembangkan budaya saling memuji, saling mengangkat, saling membanggakan.”
Sementara itu, diajak berbicara mengenai mahasiswa sekarang, dalam pandangan Pak Noor, mahasiswa ITB masih belum peka terhadap kebutuhan bangsanya. “ITB itu dambaan Indonesia, lho!” ujarnya dengan keras. Beliau memandang banyak mahasiswa ITB belum peka bahwa dirinya amat diharapkan oleh Indonesia, terutama untuk membangun Indonesia. “Masyarakat ITB adalah masyarakat yang spesifik. Orang-orang pintar berkumpul di sini dan berinteraksi. Menghasilkan resonansi yang kuat sekali. Resonansi ini yang harus kita manfaatkan.” Beliau ingin mahasiswa dan dosen pun kerap berinteraksi, agar mahasiswa dapat turut menyerap keahlian dosennya.
Selain itu, Pak Noor melihat bahwa para mahasiswa tidak punya idola. “Punya gak idola yang penghasil teknologi di kampus ITB?” Pak Noor mempertanyakan mahasiswa ITB sekarang. “Mahasiswa sekarang rasanya hanya mengerjakan rutinitas, karena itu gak tumbuh karakternya.”
Selama “ngobrol” dengan beliau tertangkap jelas harapan beliau bahwa semua konsep dan kuliah di ITB itu harus diwujudkan. “Saya senang dengan hal-hal yang konseptual namun diwujudkan; bukan hanya teori semata.” Beliau melihat bahwa itulah semangat yang harus dimiliki setiap masyarakat ITB demi mencapai tujuan pembuktian bahwa ITB berguna bagi Indonesia dan mampu membangun Indonesia.
Krisna Murti
Update 18/12/04 11.40 pm