Puji Lestari, Ph.D: Kurangi Polusi Udara dengan Peningkatan Partisipasi dan Kesadaran Masyarakat

Oleh Akbar Syahid Rabbani

Editor Akbar Syahid Rabbani

BANDUNG, itb.ac.id - Puji Lestari, Ph.D yang lahir pada 27 Mei 1960 merupakan salah satu dosen Teknik Lingkungan ITB yang masuk dalam kelompok keahlian polusi udara. Puji memiliki riwayat pendidikan yang berbeda dengan kelimuan yang sedang dijalaninya saat ini. Puji mulanya berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan mengambil jurusan Teknik Kimia dan lulus pada tahun 1986, lalu melanjutkan sekolah S2 dan S3 di Illinois Institute of Technology, Amerika Serikat. Puji menyelesaikan kuliah S3 di bidang pencemaran udara pada tahun 1996. Pada akhirnya, Puji beralih dari bidang teknik kimia ke teknik lingkungan dikarenakan ketertarikannya terhadap masalah lingkungan dan masih kurangnya ahli-ahli lingkungan khususnya di bidang udara yang ada di Indonesia. Saat ini, Puji sudah menjadi dosen di ITB selama kurang lebih 15 tahun.

 

Selama menekuni keilmuan teknik lingkungan khususnya pada masalah pencemaran udara, Puji sudah banyak mengikuti kegiatan-kegiatan yang berfokus pada masalah pencemaran udara. Ada seminar-seminar internasional, riset-riset tentang zat pencemar udara, dan peraturan-peraturan mengenai baku mutu emisi udara. Seminar internasional tersebut menghadirkan Puji sebagai pembicara (invited speaker). Adapun mengenai keikutsertaan dalam riset, Puji melakukan riset untuk mengetahui bagaimana karakteristik zat pencemar, sumber, efek, dan juga distribusi zat pencemar tersebut di udara.

Menurut Puji, untuk mengatasi masalah pencemaran udara harus digunakan teknologi dan juga peraturan. Teknologi yang digunakan untuk mengatasi pencemaran udara diantaranya: wet scrubber, cyclone dan lain-lain. Selain teknologi, ada pula peraturan-peraturan tentang baku mutu emisi udara. "Setiap jenis aktifitas manusia seperti industri dan transportasi harus diterapkan standar baku mutu emisi yang berbeda, tergantung kepada zat pencemar apa yang dihasilkan dari kegiatan tersebut dan apa dampaknya bagi kesehatan." kata Puji

Hal yang paling Puji soroti adalah pencemar udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor. Menurut Puji, asap kendaraan bermotor adalah penyebab pencemaran udara paling banyak dari berbagai pencemar yang mungkin mencemari udara. Kandungan yang dimiliki oleh udara yang yang telah tercemar sangatlah berbahaya bagi kesehatan manusia. Kemajuan teknologi dan infrastruktur yang ada beriringan dengan semakin banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil. Semakin banyak kendaraan yang ada, semakin banyak pula masalah kemacetan yang muncul. Kemacetan yang terjadi menyebabkan bertambahnya resiko pencemaran udara. Hal ini disebabkan semakin lamanya waktu tempuh yang dibutuhkan sehingga semakin banyak asap kendaraan yang diemisikan ke udara.

Meskipun demikian, sudah ada beberapa tindakan yang dilakukan untuk mengurangi resiko tercemarnya udara. Salah satunya adalah melarang penggunaan timbal pada bahan bakar fosil. Selain itu, penggunaan transportasi umum juga semakin digencarkan dan diperbaiki kualitasnya agar masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Sebenarnya saat ini sudah ada kebijakan tentang standar baku mutu udara ambien maupun yang standar baku mutu udara yang diemisikan, meskipun belum dijalankan secara optimal. Hal ini tidak hanya berlaku bagi kendaraan bermotor, tapi juga berlaku bagi pelaku industri.

Dalam penyelesaiannya, masalah polusi udara tidak hanya melibatkan pemerintah saja, masyarakat luas juga harus ikut berpartisipasi. Masyarakat dapat memulainya dari hal-hal kecil seperti tertib lalu lintas dan berpartisipasi untuk mengurangi kemacetan dijalan dengan lebih memilih untuk menggunakan transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi. Penyuluhan-penyuluhan juga dapat diberikan kepada masyarakat agar lebih peduli tentang masalah lingkungan. "Di zaman modern ini, sudah seharusnya masyarakat sadar bahwa polusi udara adalah hal yang dapat mengancam lingkungan dan kesehatan manusia." kata Puji mengakhiri wawancara.

Sumber berita: Enviro HMTL ITB, edisi 14-15