Purnabakti Prof. Setiawan Sabana, Merefleksi Sosok Art-thlete Guru Besar FSRD ITB
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Senin kemarin (4/10/21), acara purnabakti Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA diselenggarakan untuk mengapresiasi pengabdiannya selama 42 tahun di ITB. Pelepasan ini dibuka oleh Tisna Sanjaya selaku Ketua Senat Akademik FSRD, yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian cenderamata.
Sebelum Prof. Dr. Setiawan Sabana MFA memulai kiprahnya di ITB, beliau adalah Wawan, sosok pemuda ‘someah’ yang dikenal oleh para sahabatnya. Wawan menjalankan Ruang Garasi Seni 10 yang telah dirintis sejak tahun 2012 dan berlokasi di rumahnya pada jalan Rebana nomor 10, Bandung. Garasi Seni 10 merupakan sebuah ruang gagas yang melakukan aktivitas kebudayaan mulai dari seni rupa, musik, hingga diskusi mengenai berbagai ide.
Namun, pak Wawan bukanlah pak Wawan tanpa olahraga kecintaannya, yaitu tenis meja. Karena menurut beliau sendiri, ia bukanlah seorang artist, bukanlah seorang seniman—melainkan seorang art-thlete; seniman juga seorang atlet. Bahkan pada hari diselenggarakannya acara purnabakti, pria yang lebih akrab dipanggil Kang Wawan oleh sahabatnya itu tengah mengenakan ‘kostum’ untuk turut menyemarakkan acara PON yang sedang berlangsung. “Saya lagi merasakan dua getaran; getaran sebagai seniman dan akademisi, juga sebagai atlet pada saat yang bersamaan.”
Di mata Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, Ma., sebagai salah satu orang terdekatnya, Prof. Wawan dikenal sebagai sosok yang memiliki sifat imajinatif dan spiritualistik. “Sekalipun dalam bidang keseniannya itu lebih menonjol, namun Kang Wawan juga menonjol dalam pemahaman kebudayaan. Terutama pemahamannya bahwa kebudayaan selalu berubah, tidak bersifat statis,” kata Prof. Tjetjep Rohendi.
Selain itu, menurut Prof. Dr. Endang Caturwati, S. ST, M.S., Prof. Wawan adalah seseorang yang dapat mencapai puncak yang multi—tidak hanya disiplin dari ilmunya saja, namun juga dapat berkolaborasi dengan ranah yang lain. Baginya, sosok Prof. Wawan adalah seseorang yang selalu berpikir kreatif serta tidak pernah berhenti menimbulkan gagasan. “Saya menganggap pak Wawan sebagai teman, sahabat, dan sebagai kakak. Sosok yang tidak pernah bosan mengingatkan saya untuk kreatif.”
Prof. Wawan kemudian bercerita mengenai kiprahnya sebagai salah inisiator Studi Teater Mahasiswa (STEMA) ITB. Pada tahun 1971, di lapangan hijau kampus Seni Rupa ITB, dilakukan kegiatan membaca puisi bersama beberapa teman-temannya. Setiap sore mereka bertemu di sana dan melakukan kegiatan lainnya seperti belajar yoga, hingga akhirnya merintis serta memainkan lakon teater di lapangan hijau tersebut. Dari situlah, menurut Prof. Wawan, ITB tertarik kemudian dijadikan sebuah unit mahasiswa.
Kiprah Prof. Wawan Sebagai Seniman
Ia adalah seorang seniman dengan visi yang sangat jelas; menusantarakan seni dan menyenikan Nusantara, beliau juga ingin seni Nusantara meluas ke mancanegara. Sebagai seniman, pengabdian utamanya terhadap kebudayaan adalah berkarya dan melakukan kegatan pameran; tunggal maupun terlibat dalam beberapa pameran kelompok. Pameran bagi seorang akademisi sekaligus praktisi seni merupakan bentuk dari pengabdian kepada masyarakat, juga untuk menyampaikan hasil penelitian berupa karya visual.
Prof. Wawan juga menceritakan mengenai buku yang ditulis olehnya, yakni Perspektif Seni Setiawan Sabana dan Jagat Kertas dalam Perspektif. Dituturkannya bahwa buku Jagat Kertas dalam Perspektif adalah tulisan dari media massa yang menuliskan tentang pameran-pameran yang ia selenggarakan pada beberapa tempat.
Perjalanan Hidup sebagai Akademisi
Bagian penting dari perjalanan Prof. Wawan selama masa kerjanya adalah pengabdian beliau di berbagai jabatan struktural ITB. Berbagai kesempatan ini tidak hanya melesatkan kariernya, tetapi juga membawa serta FSRD dan Seni Rupa ITB ke posisi yang lebih bermartabat. Riwayat pengabdian selama masa tugasnya sangatlah banyak, beberapa di antaranya adalah menjabat sebagai Dekan FSRD sekaligus menjadi Ketua Senat FSRD, Ketua Komisi Sekolah Pascasarjana ITB, Kepala Pusat Penelitian Seni Rupa dan Desain, serta menyusun pedoman riset unggulan untuk Pusat Penelitian dan Desain.
Acara sore hari itu ditutup dengan pidato oleh Prof. Wawan. Beliau menyampaikan rasa terima kasihnya kepada seluruh rekan yang telah bekerja sama dengannya selama ini, baik itu untuk tugas kedinasan maupun kegiatan kesenian dalam perkuliahan dan perhelatan seni. “Senang sekali mengingat berbagai pengalaman indah pada masa-masa silam itu, keindahan yang tidak mungkin saya lupakan; bagi saya itu adalah rezeki hidup yang sangat berharga.”
“Ternyata, hidup dan berkehidupan itu ajaib serta ghaib. Yang kedua, menjadi seniman itu gampang—yang sulit adalah menjadi manusia. Berkarya itu ibarat menghela napas, berhenti ketika denyut nadi berhenti. I’m not getting old, I’m getting better.” Tutupnya.
Reporter: Athira Syifa PS (Teknologi Pascapanen, 2019)