Rektor ITB: Kompetensi Ipteks, Sosial dan Moral dari Mahasiswa

Oleh Akbar Syahid Rabbani

Editor Akbar Syahid Rabbani

BANDUNG, itb.ac.id - Rektor ITB menyampaikan sambutannya pada penerimaan mahasiswa baru Tahun Akademik 2014/2015. Tahun ini, ITB menerima sejumlah 5947 orang mahasiswa yang terdiri dari 3643 orang mahasiswa pada strata pendidikan Sarjana, 2132 orang pada strata pendidikan Magister, dan 172 orang pada strata pendidikan Doktor. Mahasiswa baru ITB tahun ini berasal dari Indonesia dan mancanegara yang diseleksi melalui proses yang ketat.

ITB adalah institusi pendidikan tinggi teknik yang tertua dan terkemuka di Indonesia. Di sepanjang sejarahnya, ITB senantiasa menjadi wadah pembelajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, singkatnya ipteks, bagi anak-anak bangsa dari segenap penjuru Tanah Air. ITB menyatukan kita semua ke dalam sebuah misi yang sangat penting dan mulia, yakni mengembangkan dan menyebarluaskan ipteks untuk kemajuan bangsa Indonesia, dan untuk kemaslahatan umat manusia. Kampus adalah wadah bagi pengembangan dan aktualisasi potensi intelektual. Sejak masa awal kelahirannya, ITB memegang teguh norma academic excellence, atau keunggulan akademik. Ciri-ciri dari norma academic excellence ini adalah cinta akan kebenaran, menjunjung tinggi azas ilmiah, semangat dan komitmen yang tinggi untuk memajukan ipteks, menghormati perbedaan cara pandang dan terbuka untuk berdialog. Memegang norma academic excellence berarti menjunjung tinggi kejujuran, penuh inisiatif dalam proses pembelajaran, dan bersikap kritis dan konstruktif dalam diskusi dan perdebatan. Sebaliknya, mencontek, plagiarisme dan bentuk-bentuk kecurangan yang lain bertentangan dengan norma academic excellence.

Gelar kesarjanaan adalah sebuah pengakuan formal atas capaian akademik seorang mahasiswa. Tetapi perlu senantiasa kita ingat bahwa alasan mahasiswa berada di ITB adalah demi pemahaman dan pemanfaatan ipteks serta kemajuan ipteks. Meski menjujung tinggi norma academic excellence, ITB bukanlah menara gading atau ivory tower. ITB tidak berada di luar, atau di atas masyarakat. ITB berada di tengah-tengah masyarakat, dan hidup bersama dengan masyarakat. Sejarah menunjukkan bahwa ITB tumbuh dan berkembang melalui perjuangan segenap anak bangsa dari berbagai lapisan sosial dan dari berbagai penjuru Tanah Air. Oleh karena ini, keberadaan ITB adalah berasal dari segenap anak-anak bangsa Indonesia, dan diperuntukkan bagi kemajuan bangsa Indonesia dan kemaslahatan umat manusia. Pada gilirannya, pembelajaran dan pengembangan ipteks membutuhkan interaksi dan dialog antara bidang-bidang ipteks tersebut. Ke depan, dunia ipteks semakin berkarakter multi- dan lintas-disiplin. Ada dua alasan utama untuk karakter baru tersebut. Pertama, semangat untuk terus-menerus mengembangkan dan memajukan ipteks demi kemajuan peradaban manusia. Sejarah ipteks itu sendiri menunjukkan bukti-bukti bahwa upaya-upaya lintasdisiplin memainkan peranan kunci bagi terobosan-terobosan kemajuan ipteks. Kedua, tuntutan agar ipteks semakin responsif terhadap permasalahan praktis yang dihadapi masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bersama, permasalahan praktis itu pada umumnya bersifat multi-dimensional. Upaya untuk merespon permasalahan tersebut, oleh karenanya, memerlukan pendekatan multidisiplin.

Pada akhir tahun ini bangsa Indonesia akan memiliki pemerintahan yang baru, baik di arena eksekutif maupun legislatif. Kontestasi politik dan pesta demokrasi, dengan segala dinamika yang kaya akan aspirasi-aspirasi, telah kita lalui. Kini kita harus kembali kepada kebersamaan dan kebersatuan kita, sebagai sebuah bangsa, untuk merespons tantangan-tantangan bersama demi meraih masa depan yang lebih baik. Menurut hemat saya ada dua isu global yang perlu kita respons dengan baik. Pertama, isu keberlanjutan lingkungan (environment sustainability). Isu ini berkenaan dengan nasib generasi manusia di masa depan. Belakangan ini, persaingan industri-industri pada skala global telah menimbulkan efek yang dikenal sebagai global warming, yang dampaknya telah mulai kita rasakan hari ini. Bila tidak diantisipasi secara efektif, dampak ini akan makin signifikan di masa depan. Industrialisasi global juga menghadapi kendala lain, yakni keterbatasan cadangan energi fosil. Upaya-upaya untuk melakukan diversifikasi sumber energi melalui pemanfaatan sumber nabati belum memberikan hasil yang signifikan. Di sejumlah negara, pengembangan bahan bakar nabati (biofuel) justru memicu kenaikan harga pangan. Pemanfaatan energi nuklir, meski telah didukung dengan ipteks yang sangat maju, masih sarat dengan kontroversi dan kecurigaan-kecurigaan. Kedua, krisis ekonomi dunia yang dipicu oleh krisis hutang di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Krisis ekonomi tersebut tidak terlepas dari adanya problematika dalam model ekonomi yang dianut banyak negara di dunia. Meski para ahli ekonomi tengah berupaya melakukan koreksi-koreksi, krisis ekonomi dunia ini diperkirakan tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Dampak krisis pun diduga akan meluas ke negara-negara Asia yang mengandalkan ekspor ke negara-negara yang terkena krisis tersebut. Bagi negara-negara Asia yang tengah tumbuh perekonomiannya, lazim disebut growing economies, krisis ekonomi tersebut dapat menimbulkan ancaman sekaligus peluang. Dampak krisis tersebut akan menjadi ancaman bagi mereka yang hanya berpikir dan bertindak biasa-biasa saja. Tetapi bila kita melakukan pembaruan dan inovasi di sektor-sektor ekonomi, kita dapat menciptakan peluang baru melalui krisis tersebut, dan sekaligus berkontribusi dalam menyelesaikan krisis ekonomi tersebut.

Pembentukan komunitas ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) merupakan sebuah langkah strategis untuk membangun kekuatan ekonomi kawasan untuk merespons isu global tersebut. Para ahli ekonomi Indonesia telah menggulirkan sebuah strategi untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi global melalui langkah-langkah, antara lain: diversifikasi ekspor; dan penguatan ekonomi domestik. Untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan insentif fiskal dan infrastruktur, serta memperbaiki iklim investasi. Tetapi ini saja tidak cukup. Ada faktor lain yang menurut hemat saya juga diperlukan, yakni kapabilitas ipteks bangsa Indonesia. Kapabilitas ipteks suatu bangsa dicirikan oleh: kemampuan perusahaan-perusahaan nasional untuk menyerap dan memanfaatkan ipteks sebagai sumber inovasi; produktivitas litbang ipteks yang relevan dengan kebutuhan industri dan masyarakat; intermediasi yang efektif untuk menyelaraskan kegiatan litbang ipteks dan kegiatan produksi industrial. Kapabilitas ipteks tersebut dibutuhkan untuk mendukung upaya diversifikasi ekspor, penguatan ekonomi domestik, dan sekaligus meminimalkan dampak lingkungan dari kegiatan-kegiatan industrial. Di masa depan, bangsa dengan kapabilitas ipteks yang rendah akan rentan terhadap dampak dari berbagai bentuk krisis global.