Rektor ITB: Hubungan Antara Kegiatan Pendidikan Tinggi dan Kegiatan Penelitian di Indonesia
Oleh Akbar Syahid Rabbani
Editor Akbar Syahid Rabbani
Para mahasiswa adalah generasi muda, potensi insani bangsa, yang setiap tahun masuk ke perguruan-perguruan tinggi. Setiap tahun lahir pula generasi muda dengan predikat sarjana, magister dan doktor, yang kemudian masuk ke dalam lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi-organisasi bisnis, lembaga-lembaga non pemerintahan atau menjadi pengusaha. Kehadiran mahasiswa di kampus-kampus, sebagai bagian dari aliran generasi muda, ibarat aliran oksigen yang memberikan vitalitas penelitian di perguruan-perguruan tinggi. Para mahasiswa selalu tampil dengan rasa ingin tahu dan antusiasme yang tinggi, pemikiran-pemikiran yang kritis dan kreatif, serta daya berpikir yang tangguh. Kehadiran mahasiswa di kampus memiliki kontribusi dalam mendongkrak produktivitas dan keberlanjutan kegiatan penelitian. Pengintegrasian sektor penelitian dan sektor pendidikan tinggi memungkinkan terjadinya pertukaran sumber-sumber daya penelitian dan pertukaran kepakaran yang berada di masing-masing sektor tersebut. Sebagai ilustrasi, kegiatan-kegiatan penelitian di lembaga-lembaga penelitian bisa mendapatkan dukungan dari kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa, khususnya penyusunan tesis magister dan disertasi doktoral. Hal ni memberikan dukungan bagi keberlanjutan penelitian di lembaga-lembaga penelitan.
Dalam pembicaraan tentang politik, kita sering mendengar para pengamat menyatakan bahwa "tidak ada yang abadi dalam politik, kecuali kepentingan." Menurut hemat saya, hal demikian juga berlaku di dunia penelitian, "tidak ada yang abadi dalam penelitian, kecuali interest atau minat penelitian." Bedanya, kepentingan politik berkaitan dengan kekuasaan sedangkan minat penelitian berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Kesamaannya, pengelolaan politik dan pengelolaan penelitian sama-sama berurusan dengan interest tersebut. Demokrasi memberikan justifikasi atas kepentingan-kepentingan politik, sementara prinsip kebebasan akademik memberikan justifikasi atas minat dan penelitian. Kerjasama politik memerlukan penyesuaian kepentingan sedangkan kerjasama penelitian memerlukan penyesuaian minat. Selama penyesuaian-penyesuaian tersebut tidak berhasil, maka penggunaan otoritas/kewenangan formal tidak akan betul-betul efektif. Para peneliti bekerja sesuai dengan minat penelitiannya masing-masing, yang mana ini dijamin oleh prinsip kebebasan akademik, dan mereka memiliki kapasitas untuk menjalin jejaring kemitraan guna mengejar apa-apa yang diminatinya tersebut.
Saat ini bangsa Indonesia masih menghadapi sejumlah permasalahan ekonomi, sehingga pembangunan ekonomi perlu menjadi prioritas nasional. Tetapi ini bukan alasan bagi kita untuk mengabaikan pembangunan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, serta ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan (ipteks). Penting bahwa perguruan tinggi dan lembaga penelitian meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan ekonomi. Tetapi perguruan tinggi dan lembaga penelitian juga memiliki tugas yang lain, yaitu memajukan ipteks dan meningkatkan penguasaan ipteks bangsa. Menurut Ahmaloka, kemajuan iptek dan penguasaan ipteks merupakan pilar yang esensial bagi kemandirian dan kedaulatan sebuah bangsa. Bangsa dengan ipteks yang terbelakang dan penguasaan ipteks yang minimal, akan selalu bergantung pada ipteks bangsa lain. Meski bangsa tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi, tetapi itu karena model ekonomi yang ditawarkan bangsa lain, karena ipteks yang disediakan bangsa lain. Ketika menjalani proses demokrasi menggunakan model demokrasi yang dikembangkan bangsa lain, dan ketika memberantas korupsi itu juga menggunakan model pemberantasan korupsi yang ditawarkan bangsa lain. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah juga ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa lain. Permasalahan ekonomi memang memiliki urgensi untuk segera dijawab. Tetapi permasalahan yang berkaitan dengan kemajuan dan penguasaan ipteks tidak bisa diabaikan. Kalau permasalahan ini tidak secara sungguh-sungguh dijawab, maka bangsa Indonesia akan sulit untuk bisa betul-betul mandiri, berdaulat, dan menjadi salah satu dari bangsa-bangsa besar dunia.
Tentu saja kita tidak perlu takut terbuka terhadap pihak-pihak asing. Keterbukaan ini memungkinkan pertukaran dan penggalian sumber-sumber ipteks asing untuk memperkaya khazanah ipteks bangsa. Tetapi kalau keterbukaan tersebut menimbulkan sikap yang konsumtif terhadap ipteks asing, ini menjadi ancaman bagi keberlanjutan bangsa. Anggaran belanja negara memang selalu terbatas, dan ketika tingkat kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi, pertumbuhan ekonomi memang perlu menjadi prioritas pembangunan. Tetapi ini bukan alasan untuk mengabaikan kebutuhan akan kemajuan dan penguasaan ipteks bangsa. Dalam situasi demikian, yang penting adalah pemahaman bersama, komitmen bersama dan langkah-langkah bersama, sehingga keterbatasan tersebut dapat diatasi. Tentu menjadi harapan kita bersama bahwa dengan pemerintahan yang baru, kita akan meraih pembaruan dan kemajuan di bidang ekonomi, hukum dan politik. Tetapi bangsa kita juga memerlukan ruang yang lebih leluasa dan iklim yang lebih kondusif bagi kemajuan ipteks dan penguasaan ipteks, sebagai bagian yang penting dari kemajuan kebudayaan bangsa. "Semoga Tuhan Sang Pemilik Khazanah Ilmu mencurahkan petunjuk dan bimbingan Nya kepada kita semua, sehingga kita mampu menjadikan ipteks sebagai sebuah pilar bagi kemandirian, kedaulatan, dan kemajuan peradaban bangsa Indonesia." kata Ahmaloka mengakhiri sambutannya.