Seminar Nasional Kampus Sebagai Miniatur Keberagaman Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Direktur Pendidikan ITB, Dr. Yuli Setyo Indartono. (Foto: Ahmad Fadhil/Humas ITB)

BANDUNG itb.ac.id – Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan kegiatan Seminar Nasional bertajuk “Kampus sebagai Miniatur Keberagaman Indonesia” di Sabuga ITB, Senin (26/8/2019). Seminar tersebut dihelat atas kerjasama antara ITB dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).


Direktur Pendidikan ITB, Dr. Yuli Setyo Indartono mengatakan, tujuan seminar tersebut adalah untuk menyikapi munculnya berbagai isu nasional berkaitan dengan gerakan-gerakan yang dapat mengganggu stabilitas nasional, utamanya dalam konteks penyebaran ideologi-ideologi yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. “Kondisi ini dinilai berbagai pihak dapat mengikis nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang multi-kultur, multi-etnis, multi-agama, dan toleran terhadap perbedaan,” kata Dr. Yuli.

Dr. Yuli melanjutkan, inti utama diadakannya seminar ini adalah untuk kembali memperkuat komitmen bersama seluruh elemen bangsa, khususnya civitas academica untuk senantiasa menjadikan Pancasila sebagai dasar kehidupan bersama karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang mengajarkan tata cara berkehidupan bersama, multikulturalisme, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Selain itu, Dr. Yuli menambahkan bahwa kegiatan ini juga diselenggarakan dalam rangka menindaklanjuti Inpres No.7 Tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela Negara Tahun 2018-2019 yang salah satunya mengamanatkan perlunya pembudayaan nilai-nilai Pancasila yang dilakukan secara lintas sektoral, berjenjang, terstruktur, sistematis, dan massif melalui pendekatan penta-helix. Karena itu, perguruan tinggi mempunyai andil besar dalam sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai Pancasila.

Pada kesempatan tersebut, materi tentang Aksi Bela Negara disampaikan oleh Deputi Bidang Politik dan Strategi Wantannas RI, Irjen Pol Drs. Sukma Edi Mulyono, M.H. Di dalam paparannya, Irjen Pol Sukma Edi Mulyono menyampaikan bahwa keragaman yang ada di Indonesia sudah seharusnya dijaga dengan baik oleh semua generasi bangsa. ”Keragaman ancaman memerlukan keragaman solusi, keragaman solusi memerlukan keragaman pemikiran, keragaman pemikiran hanya bisa hadir dari keragaman manusia, utamanya manusia yang berilmu pengetahuan. Inilah kekayaan bangsa Indonesia yang harus kita jaga,” ujar Edi.

*Deputi Bidang Politik dan Strategi Wantannas RI, Irjen Pol Drs. Sukma Edi Mulyono, M.H. (Foto: Ahmad Fadhil/Humas ITB)
 
Selain itu hadir juga Miftahul Ulum, Dosen UMJ sebagai pemateri yang memaparkan hasil penelitian Tim FISIP UMJ dengan judul “Memperkokoh Otoritas Perguruan Tinggi dalam Membangun Ketahanan Lingkungan Kampus terhadap Bahaya Radikalisme dan Ekstremisme Kekerasan.”

Riset tersebut menghasilkan sejumlah temuan, antara lain; (1) dukungan terhadap NKRI dan demokrasi cukup kuat di kalangan mahasiswa, (2) sebagian besar mahasiswa mendukung adanya Pancasila dan demokrasi dalam sistem NKRI, (3) menurut mahasiswa Pancasila tidak bertentangan dengan syariat Islam, dan (4) mahasiswa menganggap bahwa koeksistensi dari masyarakat yang berbeda harus dihargai. 

“Metode yang kami gunakan berupa survey, in-depth interview, dan focus group discussion yang dilakukan dari Desember 2018- Maret 2019, di tiga provinsi yaitu DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, dengan jumlah responden muslim 382 orang dan non-muslim 50 orang,” jelas Miftahul Ulum.

Selanjutnya, temuan lain dari penelitian UMJ adalah sebanyak 85% mahasiswa menolak tindakan kekerasan atas nama agama dan 81% mahasiswa menolak pandangan terorisme atas nama agama sebagai syahid atau jihad. Berdasarkan hasil ini, peneliti UMJ menyimpulkan bahwa komunitas kampus sangat tahan dari paparan radikalisme dan intoleransi.  

Ia melanjutkan, mahasiswa juga harus memiliki beberapa sifat yang diantaranya sifat selalu optimis (be optimistic), selalu mengedepankan narasi positif (positive narration), selalu memberikan solusi (solution maker), selalu berpartisipasi aktif dalam urusan lokal (locally engaged), selalu mementingkan kepentingan nasional (nationally grounded), selalu terhubung dengan kehidupan global (globally connected).

Materi selanjutnya disampaikan oleh Dosen ITB, Dr. Epin Saepudin, M.Pd., dengan topik “Membangun Budaya Kewargaan di Perguruan Tinggi.” Ia mengatakan bahwa kampus merupakan miniatur ke-Indonesia-an karena diisi oleh pribadi dari berbagai latar belakang sosial budaya, agama, suku bangsa, dan adat-istiadat yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia. “Karena itu, perlu dibangun budaya kewargaan di perguruan tinggi. Pembudayaan nilai pluralisme harus dilakukan secara sistematis, komprehensif, dan terintegrasi melalui program kurikuler, ko-kurikuler, ekstrakurikuler, budaya kampus, dan asrama,” tambahnya.

Menurutnya, tugas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak, melainkan merupakan tanggung jawab kolektif seluruh civitas academica di perguruan tinggi. Karena itu, diperlukan sinergi, kolaborasi, dan komitmen bersama untuk sama-sama melakukan tugas mulia ini.

Reporter: Salsabila Tantri Ayu (Kimia, 2016)