Seminar Pendidikan untuk Anak-anak Pinggiran
Oleh Muhammad Arif
Editor Muhammad Arif
Bandung, itb.ac.id-Komisi Masalah Kebangsaan Majelis Guru Besar (MGB) ITB yang bekerjasama dengan Moedomo Learning Initiatives menggelar seminar “Memotong Belenggu Kemiskinan: Strategi Pendidikan untuk Kelompok Anak Pinggiran.” Seminar pendidikan ini menghadirkan Mochtar Buchori seorang pakar perencanaan pendidikan yang juga mantan rektor IKIP Jakarta. Mochtar Buchori hadir mempresentasikan buah pemikirannya bagi pendidikan Indonesia yang seakan mengajak generasi muda saat ini untuk peduli dan turut berpartisipasi dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
Seminar yang mengangkat “kelompok anak pinggitan” atau kelompok anak-anak yang kurang mampu secara ekonomis sehingga tidak mampu mengikuti program pendidikan formal di sekolah. Anak-anak yang menjadi penerus bangsa ini selayaknya mendapat perhatian lebih karena keberadaan mereka sangat dekat dengan kriminalitas.
Pelayanan pendidikan yang sesuai untuk mereka, menurut Mochtar Buchori, tidak lagi sekolah konvensional tapi sekolah beraliran ‘pendidikan bermakna’ yaitu sekolah yang mengangkat pendidikan untuk keseimbangan pemupukan pnegetahuan dan penumbuhan sistem nilai. Mochtar Buchori menjelaskan bahwa, pendidikan bagi anak-anak pinggiran hendaknya mencakup aspek konatif yaitu pengembangan tekad untuk keluar dari belenggu kemiskinan, kognitif yaitu pemahaman sifat kemiskinan dan aspek etika sosial, atau pengembangan kesadaran adanya jalan yang baik dan jalan yang kurang baik untuk keluar dari kemiskinan. “Aspek etika sosial sayangnya, hanya mendapatkan porsi yang kecil dalam kurikulum pendidikan saat ini,” jelas Mochtar Buchori.
Masalah kemiskinan harus dipergunakan sebagai titik pangkal dalam mernacang pelayanan pendidikan bagi anak-anak terpinggirkan. Sekolah konvensional dengan kurikulum nasional standar dan materi pembelajaran standar, menurut Mochtar Buchori tidak akan dapat mengangkat anak-anak pinggiran dari lilitan kemiskinan yang terus-menerus dialami dari generasi ke generasi. “Saat ini, salahnya di mana? Bukan pemimpin baru yang kita butuhkan tapi kepimpinan yang baru,” imbuh mantan guru yang kadang menjadi kolumnis harian ibukota ini. Selain materi pendidikan, kepedulian guru terhadap anak-anak pinggiran yang diajarnya juga harus mendapat sorotan utama. Keberadaan guru saat ini, menurut Mochtar Buchori kebanyakan tidak memahami betul dasar-dsar pendidikan. “Pendidikan guru saat ini amburadul karena kebanyakan pendidikan guru menjadi pilihan terkahir dalam memilih jurusan di perguruan tinggi,” keluh Mochtar Buchori lagi. Pendidikan bagi anak pinggiran bukanlah masalah pemerintah saja, tapi masalah bersama karena menyangkut masa depan bangsa Indonesia.
Seminar yang mengangkat “kelompok anak pinggitan” atau kelompok anak-anak yang kurang mampu secara ekonomis sehingga tidak mampu mengikuti program pendidikan formal di sekolah. Anak-anak yang menjadi penerus bangsa ini selayaknya mendapat perhatian lebih karena keberadaan mereka sangat dekat dengan kriminalitas.
Pelayanan pendidikan yang sesuai untuk mereka, menurut Mochtar Buchori, tidak lagi sekolah konvensional tapi sekolah beraliran ‘pendidikan bermakna’ yaitu sekolah yang mengangkat pendidikan untuk keseimbangan pemupukan pnegetahuan dan penumbuhan sistem nilai. Mochtar Buchori menjelaskan bahwa, pendidikan bagi anak-anak pinggiran hendaknya mencakup aspek konatif yaitu pengembangan tekad untuk keluar dari belenggu kemiskinan, kognitif yaitu pemahaman sifat kemiskinan dan aspek etika sosial, atau pengembangan kesadaran adanya jalan yang baik dan jalan yang kurang baik untuk keluar dari kemiskinan. “Aspek etika sosial sayangnya, hanya mendapatkan porsi yang kecil dalam kurikulum pendidikan saat ini,” jelas Mochtar Buchori.
Masalah kemiskinan harus dipergunakan sebagai titik pangkal dalam mernacang pelayanan pendidikan bagi anak-anak terpinggirkan. Sekolah konvensional dengan kurikulum nasional standar dan materi pembelajaran standar, menurut Mochtar Buchori tidak akan dapat mengangkat anak-anak pinggiran dari lilitan kemiskinan yang terus-menerus dialami dari generasi ke generasi. “Saat ini, salahnya di mana? Bukan pemimpin baru yang kita butuhkan tapi kepimpinan yang baru,” imbuh mantan guru yang kadang menjadi kolumnis harian ibukota ini. Selain materi pendidikan, kepedulian guru terhadap anak-anak pinggiran yang diajarnya juga harus mendapat sorotan utama. Keberadaan guru saat ini, menurut Mochtar Buchori kebanyakan tidak memahami betul dasar-dsar pendidikan. “Pendidikan guru saat ini amburadul karena kebanyakan pendidikan guru menjadi pilihan terkahir dalam memilih jurusan di perguruan tinggi,” keluh Mochtar Buchori lagi. Pendidikan bagi anak pinggiran bukanlah masalah pemerintah saja, tapi masalah bersama karena menyangkut masa depan bangsa Indonesia.