Seminar Peran Mahasiswa ITB dalam Membangun Masa Depan Bangsa

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Cara pandang bangsa kita menjadi kelakar Amir Sambodo (IA-ITB, pengusaha) dalam seminar pembuka peringatan Satu Dekade Keluarga Mahasiswa (KM) ITB, hari ini Jumat 24 Maret 2006. “Semisal ada satu buah apel jatuh di depan seorang Indonesia. Apa yang kira-kira terpikir olehnya? Buah terlarang, yang kemudian menjadi judul film. Sedangkan saat seorang Eropa melihatnya, muncullah teori gravitasi. Begitulah cara berpikir bangsa Indonesia. Kita lebih cenderung intuitif, mengandalkan intuisi, pandangan kita terbatas pada saat ini.” Seminar ”Peran Mahasiswa ITB dalam Membangun Masa Depan Bangsa (Sektor Publik, Privat, dan Sosial Masyarakat)” yang digelar di Aula Timur ITB mulai pukul 13.00-16.00 WIB ini penuh dengan pandangan-pandangan para pembicara tentang konsep kemahasiswaan saat ini dan juga menyinggung soal technopreneursip serta karakter bangsa. Selain Amir Sambodo, Djusman S D. (Mantan Dirut PT DI) juga menjadi pembicara pada acara tersebut. Sedianya empat pembicara hadir pada acara tersebut, namun Ondos (Anggota DPR RI), dan Fadjroel Rahman (Aktivis ’89) berhalangan hadir. Dengan hanya dua pembicara, seminar dimulai dengan sambutan dari Ketua Peringatan Satu Dekade KM ITB, Hendri dilanjutkan dengan sambutan Sekjen Eksternal KM ITB, Goris Mustaqim. Setelah presentasi dari kedua pembicara, acara dilanjutkan dengan dua sesi pertanyaan yang masing-masing terdiri dari tiga penanya. Acara ditutup pada pukul 16.00 WIB, setelah pemberian cinderamata kepada kedua pembicara. Seminar ini adalah acara pembuka untuk rangkaian kegiatan Peringatan Satu Dekade KM ITB yang bertema ”Pergerakan Kemahasiswaan yang Tak Pernah Mati..”. Puncaknya akan jatuh pada tanggal 2 April 2006, dimana akan diadakan reuni aktivis dan pentas sei yang menghadrkan seniman-seniman ternama: Taufik Ismail, Sudjiwo Tedjo, Franky Sahilatua, dan Iwan Fals. Sejumlah menteri juga akan hadir pada acara tersebut, di antaranya Menristek Kusmayanto dan Menteri Perhubungan Hatta Radjasa. Kemahasiswaan ala ITB Menjawab pertanyaan salah seorang penanya tentang citra kemahasiswaan ITB yang tidak terlihat tampil di garis terdepan dalam aksi-aksi massa, Amir Sambodo mengatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa ITB hendaknya tidak terlalu mementingkan menjadi aktor lapangan, tetapi hendaknya dengan kelebihan pemikiran yang dimilikinya, mahasiswa ITB harus dapat menjadi konseptor, dimana saat ia terjun ke dunia nyata, ia akan menjadi pemimpin dari pemimpin. Tentang warna kemahasiswaan ITB yang berbeda dari masa sebelumnya, Djusman S. D. sedikit bercerita, ”Dahulu mahasiswa ITB itu sering menginap di kampus, tepatnya di perpustakaan, karena di kosnya tidak ada lampu. Di sana kami semua berkumpul dan membaca. Pada saat itu perpustakaan ITB adalah perpustakaan yang paling lengkap. Kami banyak membaca buku-buku sosial, buku-buku Marx, dll. Setelah kami membaca, kami bawa pemikiran itu ke PSIK, di sana kami berdebat seru. Hasil perdebatan dan ide-ide baru yang muncul kami bawa saat hearing Presiden Dema (nama KM sebelumnya, red) setiap bulannya. Jadi ada semacam suasana yang mendukung lahirnya pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa. Walaupun saat ini keadaan berbeda, namun alangkah baiknya jika KM bisa memfasilitasi semacam leadership training course bagi mahasiswanya, agar ahir pemimpin-pemimpin baru.” (astriddita)