Seminar "Remote Island" SAPPK ITB Bahas Risiko Bencana di Destinasi Terpencil

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita


LOMBOK, itb.ac.id – Bencana kadang dapat terjadi di tempat maupun waktu yang tidak terduga. Kebencanaan pun dapat menjadi salah satu aspek yang tidak boleh diabaikan dalam industri pariwisata. Keberlanjutan dan keberhasilan sektor pariwisata juga sangat tergantung pada bagaimana destinasi tersebut mampu mengelola, mengurangi risiko dan merespons bencana dengan efektif.

Maka dari itu, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (SAPPK ITB) mengadakan Joint Seminar yang bertemakan “Remote Island”. Agenda ini dilaksanakan pada Jumat (22/9/2023) di Ruang Auditorium Politeknik Pariwisata Lombok, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Salah satu pemateri dalam acara ini adalah Dosen Politeknik Pariwisata Lombok (PPL), Ruwaida Fajriasanti, S.T., M.P.Par. Dalam kesempatan ini beliau membahas risiko bencana dengan studi kasus di Gili Tramena, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Indonesia.

Sebagai pembuka, Ruwaida menjelaskan tentang ketahanan bencana di Indonesia dan komitmen untuk perjanjian global seperti Kerangka Sendai dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hal ini diintegrasikan ke dalam pembangunan nasional, regional, lokal, dan area tertentu dengan kriteria dan indikator yang telah ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPN) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sebagai informasi, Gili Tramena yang merupakan bagian dari Taman Wisata Perairan (TWP) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), sangat bergantung pada sektor pariwisata. Wilayah ini memiliki luas 678 hektar dan berada di bawah administrasi Desa Gili Indah, Kabupaten Lombok Utara.

Ruwinda juga membahas ketahanan bencana di ketiga Gili, termasuk Gili Tramena. Beberapa aspek yang ditekankan dalam presentasinya adalah kualitas dan akses terhadap layanan dasar. Sebut saja, ketersediaan fasilitas pendidikan yang tidak merata di antara ketiga pulau, keterbatasan dan ketidakmerataan fasilitas kesehatan, serta infrastruktur transportasi yang terbatas.

“Selain itu, sistem komunikasi yang tidak efektif dan partisipasi rendah dari pemangku kepentingan lokal dalam perumusan kebijakan juga menjadi permasalahan yang diangkat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ruwaida mengungkapkan bahwa upaya pengelolaan lingkungan di ketiga Gili masih tersebar di antara berbagai pemangku kepentingan dan kurang koordinasi. “Kebijakan pengelolaan bencana di tingkat lokal (desa) masih sangat lemah, dan pemahaman yang kurang dalam mengenai manajemen bencana juga menjadi tantangan yang harus diatasi,” jelasnya.

Seminar ini memberikan wawasan yang berharga mengenai tantangan dan upaya dalam meningkatkan ketahanan bencana di pulau-pulau terpencil, khususnya Gili Tramena, dan mengingatkan pentingnya kerjasama lintas negara dalam menghadapi masalah ini.

Penulis: Hafsah Restu Nurul Annafi (Perencanaan Wilayah dan Kota 2019)