Seno Gumira Ajidarma : Gadgetism dalam Bayangan Kelisanan
Oleh Gilang Audi Pahlevi
Editor Gilang Audi Pahlevi
BANDUNG, itb.ac.id- Dunia manusia saat ini sudah tidak lagi
dibatasi oleh ruang. Jarak kini hanya tinggalah angka untuk mengukur, bukan
lagi sebuah batasan antara satu manusia dengan lainnya. Itu semua karena
mudahnya berkomunikasi dan memperoleh informasi di dunia modern ini. Keberadaan
, laptop, tablet yang
diperkuat dengan jaringan internet telah menjadi senjata ampuh untuk
menghilangkan segala batasan. Namun, apakah ini sebuah kebaikan yang harus kita
syukuri dan terima sepenuhnya? Banyak fenomena sosial seperti penyebaran hoax, hate speech, hingga penistaan bermula dari penggunaan gadget-gadget tadi. Apakah masalah
sesungguhnya yang datang bersamaan dengan gaya hidup gadget ini?
Pada Selasa (21/2/2017), salah seorang penulis kenamaan Indonesia, Seno Gumira Ajidarma hadir di Institut Teknologi Bandung untuk memberikan orasi budayanya dalam rangkaian acara Soemardja Book Fair 2017. Bertempat di Galeri Soemardja, Seno Gumira menyampaikan pemikirannya terkait fenomena penggunaan gadget yang ia sebut sebagai gadgetism. Kehadiran Seno Gumira beserta topik yang ia bawakan berhasil mengundang banyak orang datang, hingga rela untuk duduk lesehan karena keterbatasan kursi yang disediakan.
Jaringan Sosial dalam Konstruksi Global
Mengacu pada laporan majalah The Economist edisi 30 Januari 2010
mengenai tinjauan terhadap jaringan sosial masa kini, dapat disarikan beberapa
poin penting. Pertama, jaringan sosial telah menjelma menjadi ruang publik baru
yang luas dan orang merasa nyaman untuk menggunakan ruang tersebut. Kedua,
pencapaian jaringan sosial terbesar adalah membawa manusia ke tempat yang
sebelumnya dingin dan teknologis. Ketiga, jaringan sosial menjadi media penting
bagi penyebaran berita dan pengaruh. Keempat, jaringan sosial harus membuktikan
bahwa keberadaannya layak dipertahankan. Kelima, saat ini dunia baru saja
memasuki tahap awal dari keterhubungan satu sama lain.
Menurut Seno Gumira, secara umum
poin-poin tersebut juga relevan di Indonesia, tetapi dengan konsekuensi keberadaan
jaringan sosial tersebut dapat memberikan kejutan budaya yang dapat memboroskan
energi, yang lebih baik energi tersebut digunakan untuk mengentaskan bangsa
dari kemiskinan dan kekurangcerdasan. Lalu demikian, dengan menyadari bahwa
salah satu ciri teknologi mutakhir adalah percepatan dan ketergandaan yang luar
biasa, maka hal tersebut berpotensi mengubah para penghayat gadgetism menjadi crowds tanpa kesadaran, membuat pemusnahan kekurangcerdasan menjadi
urgen.
Dengan menggunakan lima ranah
pembentuk budaya global dalam teori globalisasi Arjun Appadurai, Seno Gumira
menguraikan gadgetism sebagai
berikut. Pertama, daya jangkau meraih gadget memperluas kelompok dan
menghancurkan eksklusivitas kelas sehingga berlangsung demokratisasi dalam
kesetaraan komunikasi, sekaligus memberi tempat bagi kelompok dominan “non-bacatulis”.
Kedua, dalam ranah teknologi, gadgetism
hanya menjadi lingkaran dalam sesama orang Indonesia saja, meski memiliki
peluang dihayati secara internasional dan global. Lalu, dalam ranah media, gadget memberi ruang bagi politik
identitas, dapat berupa narcissism
ataupun pemberian makna dalam penciptaan naratif identitas diri. Kemudian dalam
ranah ideologi, jaringan sosial yang terbentuk telah menjadikan kerinduan untuk
selalu berkomunikasi dengan siapapun di luar sana. Terakhir, dalam ranah etnik,
gadgetism sebenarnya meng-eka-kan kebhinekaan dalam satu dimensi, meski dalam
kerangka sesama penghayat gadgetism.
Gadgetism di Indonesia
Saat ini Indonesia menduduki peringkat
3 dalam konteks pengguna Facebook
terbanyak di dunia. Dengan mengingat bahwa kegiatan dalam ber-Facebook adalah membaca (status) dan
menulis (status), apakah ini juga berarti bahwa budaya baca-tulis Indonesia
juga peringkat 3 dunia? Tentulah tidak! Hal ini dikarenakan baca-tulis dalam
media sosial bukanlah representasi keberaksaraan, melainkan hanyalah kelisanan
sekunder.
Perbedaan keberaksaraan dan
keberlisanan terletak pada prosesnya. Keberaksaraan melibatkan penglihatan yang
kemudian memecahbelahkan dan mengindividualisasikan. Proses individualisasi ini
mampu mengembangkan penalaran individual, pemikiran kritis dan independen
hingga sikap iilmiah sejati. Sementara dalam kelisanan, yang terjadi adalah
proses pemersatuan. Proses ini memiliki kecenderungan dalam menjaga
harmonisasi. Tanpa maksud mengatakan bahwa harmonisasi adalah buruk, tetapi
harmonisasi cenderung menjaga
kebersamaan sehingga orang cenderung mengikuti yang lain, tidak ingin berbeda. Hal
ini dapat menumbuhkan sikap nonkritis karena hanya ikut-ikutan.
Kelisanan sekunder, yang begitu
diperkuat oleh gadgetism, menempatkan
Indonesia pada situasi penuh paradoks. Sementara keberaksaraan menuntut dan
membentuk sikap kritis, keberlisanan justru wajib menjaga kebersamaan dalam
sifat antiestetis, antiliterer, dan nonkritis. Selain itu, dapat dipastikan
bahwa perbedaan penyampaian dan penerimaan antara informasi tertulis dan lisan
sangatlah besar. Dengan rendahnya budaya
baca-tulis yang sebenarnya, akan sangat berbahaya jika budaya literasi palsu
melalui gadgetism ini terus
dibiarkan.
“Apabila kemudian ‘bahasa
menunjukkan bangsa’ alias menjadi representasi cara berpikir bangsa Indonesia,
tentu merupakan mimpi buruk yang celakanya adalah nyata,” tutup Seno Gumira
Ajidarma.