SITH ITB Gelar Pelatihan Online Fermentasi Kakao untuk Mendorong Peningkatan Mutu Kakao Nasional
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Kelompok Keahlian Bioteknologi Mikroba Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB menggelar pelatihan online kepada petani kakao tentang peningkatan mutu kakao dengan proses fermentasi terkontrol pada Rabu (14/12/2022). Acara tersebut menghadirkan salah satu Guru Besar SITH yaitu Prof. Pinkan Aditiawati sebagai pembicara dengan paparan berjudul “Manfaat Fermentasi untuk Peningkatan Mutu Kakao”.
Dalam mengawali paparannya, Prof. Pingkan menjelaskan bahwa potensi kakao Indonesia sangat besar. Produksinya pada tahun 2022 saja mencapai 700.000 ton lebih dengan wilayah penghasil kakao terbesar di Sulawesi, Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara. Namun tantangan yang harus dihadapi ternyata berkaitan dengan penanganan pascapanen yang berdampak langsung pada mutu biji kakao.
Menurut Prof. Pingkan, kakao yang difermentasi terlebih dahulu akan memiliki kualitas yang jauh lebih baik daripada kakao tanpa fermentasi dari varietas yang sama.
“Masalah pascapanen menjadi masalah besar untuk mendapatkan bahan baku kakao yang baik selain dari varietasnya. Ketika dilakukan fermentasi, tentunya dapat meningkatkan kualitasnya tergantung kepada kualitas biji yang digunakan,” ujarnya.
Petani kakao di Indonesia telah mengenal metode fermentasi tradisional yang diajarkan oleh nenek moyang mereka sejak dahulu. Fermentasi tradisional berbeda di satu wilayah dengan wilayah lainnnya. Misalnya ada yang menggunakan kotak kayu yang ditutup daun pisang, kombinasi keranjang dan karung goni, serta sistem trap menggunakan kotak berjenjang.
Namun fermentasi yang paling optimal adalah fermentasi buatan yang dikendalikan atau fermentasi terkontrol. Metode ini memungkinkan kualitas kakao yang selalu sama dan stabil sepanjang waktu karena variabel yang mempengaruhi fermentasi diatur sedemikian rupa.
Selain untuk menyamaratakan mutunya, fermentasi terkontrol juga berfungsi untuk mengeliminasi senyawa-senyawa berbahaya serta menciptakan prekursor cita rasa baru pada kakao. Kakao hasil fermentasi juga dinilai lebih kaya antioksidan dan rendah air sehingga lebih sehat dan tahan lama daripada kakao biasa. Untuk menghasilkan kakao berkualitas baik seperti itu, diperlukan proses fermentasi yang panjang dalam beberapa tahap. “Fermentasi membutuhkan waktu yang lama. Hal ini mungkin yang menjadi kendala bagi para petani, karena lama untuk mendapatkan uang. Jadi perlu waktu untuk menjual kakao tadi,” sambung Prof. Pingkan.
Uniknya, proses fermentasi juga mengubah kondisi fisiologis biji kakao sehingga akan mempengaruhi jenis rasa yang dihasilkan. Berbagai jenis rasa yang dihasilkan saat fermentasi dikendalikan oleh prekursor asam amino spesifik yang merupakan hasil penguraian protein pada biji. Misalnya rasa seperti kacang memiliki prekursor asam amino leucine, sedangkan rasa buah dikendalikan oleh prekursor asam amino alanine.
Prof. Pingkan juga mengingatkan bahwa sortasi dan kondisi selama fermentasi sangat mempengaruhi hasil akhir kualitas kakao. Proses sortasi didasarkan pada beberapa kriteria untuk mempertahankan mutu kakao seoptimal mungkin, mulai dari bentuk dan ukuran biji hingga keberadaan kontaminasi patogen. Di sisi lain, kondisi selama fermentasi ditinjau dari intensitas pengadukan, skala fermentasi, serta kondisi lingkungan. Jika kedua faktor kunci tersebut dikontrol sebaik mungkin, maka biji kakao dengan kualitas seragam akan didapatkan pada akhir masa fermentasi.
“Karena kita memang adalah negara yang memproduksi kakao sangat tinggi, produktivitasnya diharapkan tidak turun dan kualitasnya terjamin. Tentunya kita harus masuk ke cara-cara fermentasi yang terstandar dan terkontrol. Sehingga kita menghasilkan biji kakao yang mutunya sama serta mempunyai waktu simpan lebih lama,” jelas Prof. Pingkan.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah & Kota, 2020)