PSA ITB Sukses Lakukan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gempa di Dusun Montok Lombok Utara
Oleh Adi Permana
Editor Vera Citra Utami
BANDUNG, itb.ac.id--Rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana pada daerah yang terdampak merupakan hal yang penting untuk dilakukan guna mendukung berjalannya kehidupan secara normal kembali. Gempa Lombok yang terjadi pada 29 Juli 2018 silam menyebabkan hampir seluruh bangunan di dusun Montong, Kabupaten Lombok Utara, mengalami kerusakan dari tingkat sedang sampai berat.
Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar korban meninggal di dusun tersebut akibat tertimpa runtuhan gempa dan sulitnya melakukan evakuasi diri karena kondisi pemukiman yang padat dengan gang sempit serta beberapa lainnya buntu.
Pada tahun 2019, tim Pusat Studi Agraria (PSA) ITB yang terdiri dari Dr.rer.pol. Rizqi Abdulharis, Dr. Alfita Puspa Handayani, Dr. Irwan Meilano, dan Ivan Akbar, B.Sc., M.T. melakukan analisis penyebab belum selesainya administrasi yang menghalangi proses rehabilitasi dan rekonstruksi di desa tersebut. Setidaknya ada dua penyebab yang ditemukan yaitu, belum adanya perencanaan penggunaan rusun Dusun Montong sesuai dengan karakteristik dan belum adanya lembaga yang secara langsung terlibat mendampingi pelaksanaan penyiapan administrasi maupun pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Oleh karena itu, tim PSA ITB memberikan beberapa alternatif solusi pendekatan untuk melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi di desa tersebut.
Konsolidasi tanah menjadi alternatif solusi yang diberikan, konsolidasi tanah merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan penggunaan tanah dalam hal pemanfaatan, peningkatan, produktivitas, dan konservasi lingkungan. Cara melakukan konsolidasi tanah dengan melakukan penataan, penggeseran, pertukaran, pemecahan, penggabungan, penghapusan serta pengubahan letak persil (bidang) tanah yang disempurnakan dengan adanya pembangunan fasilitas umum seperti jalan, ruang terbuka hijau, dan sebagainya.
Berbeda dengan pembebasan tanah, konsolidasi tanah lebih mengutamakan optimalisasi kondisi sesuai yang masyarakat jalankan. Menurut UU 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman Perumahan, konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila paling sedikit 60% dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi paling sedikit 60% dari luas areal tanah yang di konsolidasikan menyatakan persetujuannya.
Bagi masyarakat yang baru terdampak bencana, merelakan tanahnya untuk di konsolidasi bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, alternatif pendekatan etnografi dilakukan untuk mengatasinya. Pendekatan etnografi dilakukan untuk upaya membangun komunikasi yang efektif dengan seluruh masyarakat guna menyusun desain konsolidasi pertanahan yang sesuai dengan kearifan lokal dalam pola pemukiman tradisional. Pendekatan ini terbukti berhasil, komunikasi dapat berjalan lebih efektif melalui musyawarah yang melibatkan pemuka adat dan pemuka agama.
Selain melakukan komunikasi efektif dengan masyarakat, dalam melakukan konsolidasi terdapat dua bagian penting lain yang harus terpenuhi yaitu memastikan lokasi relokasi untuk daerah khusus yang ada dalam zona bahaya bencana geologis dan desain pola pemukiman masyarakat yang aman dengan kemudahan akses jalan. Konsolidasi tanah untuk penataan kawasan bencana dapat dilakukan dengan pendekatan alternatif solusi lainnya, yaitu Analisis Informasi Geospasial.
Pada akhirnya, konsolidasi tanah menjadi proses yang panjang dan sulit bagi pihak yang terlibat. Kemampuan mengimplementasikan pendekatan etnografi pada akuisisi data geospasial akan menghasilkan suatu model konsolidasi tanah pascabencana yang terbukti mampu meminimalisasi munculnya konflik di lapangan.
Setelah menganalisis penyebab dari terhambat proses adminitrasi, Dr. Rizqi dan tim melakukan proses rehabilitasi dan rekonstruksi dengan beberapa pendekatan solusi yaitu konsolidasi tanah, etnografi, dan analisis informasi geospasial. Ketiga pendekatan tersebut saling mendukung dan berkaitan satu sama lain.
Reporter: Diah Rachmawati (Teknik Industri, 2016)
Sumber: Rilis LPPM ITB