Studium Generale ITB: Kisah Inspiratif Singgih Susilo Membangun Kemandirian Desa dengan Konsep “Cyral-Spiriterial”

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id–Desa merupakan salah satu aset penting bagi bangsa Indonesia karena memiliki potensi yang belum tergali secara maksimal. Masing-masing desa memiliki cerita khasnya sendiri dan membawa nilai-nilai luhur yang kita terima hingga saat ini.

Konsep Cyral-Spiriterial merupakan istilah yang terdiri atas city dan rural serta spiritual dan material. Sebuah pemahaman tentang kondisi di mana suatu desa atau kawasan memiliki keseimbangan dalam kemampuan spiritual dengan material yang mampu mengarah ke arah perwujudan kesejahteraan global.

Konsep tersebut yang coba dijelaskan oleh Singgih Susilo Kartono, seorang desainer alumni Desain Produk ITB (’86) dalam Kuliah Umum KU4078 Studium Generale. Tema yang ia bawakan pada kesempatan tersebut ialah “Cyral-Spiriterial: Konsep Kemandirian Desa untuk Mewujudkan Kesejahteraan Global”. Singgih Susilo Kartono adalah pembuat Radio Kayu Magno dan Spedagi Bamboo Bike dari Desa Kandangan, Temanggung yang mendunia dengan penghargaan Japan Good Design Award G-Mark 2008, London Design Museum’s Brit Insurance Design Awards 2009, dll. Dia juga adalah pencetus gerakan revitalisasi desa melalui pasar rakyat Papringan yang menginspirasi ratusan desa di Indonesia.

Menurut Singgih, konsep Cyral-Spiriterial ini sebenarnya sudah banyak dipraktikan oleh desa-desa di Indonesia. Sebagai contoh, berbagai perayaan di desa seperti memanen padi acapkali dibarengi dengan ritual-ritual tertentu.

Menurutnya, saat ini dunia industri negara maju telah melewati puncak grafik penggunaan material dengan kembali ingin menerapkan nilai-nilai spiritual menuju era spiriterial. Desa di negara maju dengan berkembang memiliki awal permulaan yang berbeda sehingga tidak bisa disamakan pertumbuhannya. Kalau mengikuti justru malah akan kehilangan apa yang kita punya.

Dalam presentasinya, ia menyampaikan sejatinya desa di negara berkembang tidak memaksakan mengejar pertumbuhan posisi industri dalam grafik cyral-spiriterial karena justru mereka sedang mengarah ke titik keseimbangan spiriterial. Biarkan desa berkembang secara kontekstual sesuai dengan nilai-nilai yang diturunkan di desa tersebut.

“Desa potensinya luar biasa juga daerah. Dengan hanya membutuhkan keseriusan untuk mendapatkannya (potensinya),” ujar Pak Singgih.

Singgih mengakui bahwa dirinya bukan merupakan seorang desainer yang mengikuti perkembangan pasar. Ia selama ini menjalaninya hanya mengikuti panggilan hati dan melihat kondisi sekitar. Sikap tersebut yang mendorongnya menciptakan berbagai mahakarya istimewa yang terkenal seperti Magno (brand kerajinan kayu), spedagi (sepeda dengan rangka bambu), dan Pasar Papringan.

Magno merupakan bentuk kelanjutan realisasi dari tugas akhir yang beliau lakukan. Magno membawa nilai kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan potensi sumber daya manusia dan alam Indonesia yang begitu luar biasa. Magno tentu tidak sembarangan dibuat. Setiap barang yang dihasilkan memiliki keseriusan desain, proses produksi berkualitas, dan yang terpenting makna filosofis di baliknya.

Tidak hanya itu, beliau juga mengembangkan spedagi yang merupakan sepeda lokal bermaterial utama bambu. Bambu dipilih karena melihat potensi di desanya tumbuh subur banyak bambu. Bambu juga material yang unik serta fleksibel sehingga cocok digunakan untuk kerangka sepeda. Spedagi buatannya juga sudah teruji laboratorium di Jepang dan uji jarak jauh dari Aceh ke Denpasar.

Di sisi lain, tanaman bambu juga memiliki berbagai manfaat seperti sekali tanam tanpa perlu penanaman ulang, membuat tanah subur, pelindung erosi yang baik, dan mampu mengumpulkan air dalam jumlah yang besar. Spedagi ini juga dikembangkan dalam rangka social movement yang menjaga alam secara berkelanjutan. Melalui spedagi, ia mengharapkan orang-orang bisa merasakan kembali kedekatan dengan alam. “Spedagi ini merupakan perwujudan lokalitas yang menghasilkan originalitas,” ujarnya.

Sementara itu Pasar Papringan merupakan pasar yang bertempatan di antara sekumpulan tanaman-tanaman bambu. Sebelumnya, pasar ini merupakan kawasan tumpukan sampah di sekeliling pepohonan bambu. Kemudian Singgih berinisiatif bagaimana sekiranya masalah ini bisa teratasi dengan menggiring masyarakat untuk merasa Pasar Papringan ini menjadi sesuatu yang berharga. Dengan menerapkan design thinking, Singgih menggarisbawahi perilaku dan ritme yang sesuai dengan aktivitas yang disukai masyarakat sehingga terbentuklah konsep pendekatan pasar.

Pasar Papringan ini menjadi proyek yang inspiratif dan inovatif. Keberjalanannya sejauh ini sekaligus dalam bentuk eksperimentasi langsung karena tidak ada acuan sebelumnya jadi harus dicoba secara langsung. Tantangannya memang lokasinya cukup jauh, namun berkat adanya publikasi media sosial, pasar ini menjadi semakin terkenal.

Desa-desa di Indonesia memiliki akar yang kuat dengan adanya sejarah panjang. Konsep cyral dengan empat pilar small, local, opened, dan connected harus bisa mulai diterapkan. Juga untuk mencapai konsep spiriterial kita harus berpengetahuan yang mampu melihat peluang berdasarkan keterhubungan pengalaman masa lalu dengan masa depan.

Dunia membutuhkan pendidikan yang kontekstual dalam artian menyesuaikan dengan kebutuhan lokal, bukan malah memaksakan kebutuhan global. Singgih menilai bahwa kerusakan yang terjadi saat ini karena kita terlalu fokus berkompetisi, alih-alih berkolaborasi.

Reporter: Lukman Ali (Teknik Mesin/FTMD, 2020)