Tatang Hernas Widjaja: Subsidi BBM Kurang Tepat Guna
Oleh Diviezetha Astrella Thamrin
Editor Diviezetha Astrella Thamrin
BANDUNG, itb.ac.id - Maraknya isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat saat ini. Timbul pula polemik kontroversial mengenai subsidi BBM itu sendiri. Pemungutan suara fraksi-fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapat paripurna DPR pada Senin (17/06/13) akhirnya mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2013 mengenai kenaikan harga BBM, dimana premium naik menjadi Rp6.500,00 dan solar menjadi Rp5.500,00.
Tatang Hernas Soerawidjaja, dosen Program Studi Teknik Kimia ITB yang juga merupakan anggota Dewan Riset Nasional (Komisi Energi) dan Wakil Ketua Dewan Pakar Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mendukung pula keputusan kenaikan harga BBM yang diputuskan pada rapat paripurna DPR. Menurutnya, pada praktiknya tujuan hakiki dari pemberian subsidi BBM di Indonesia tidak tercapai dan telah salah kaprah, serta merupakan penghamburan sia-sia anggaran negara.
"Subsidi BBM telah menjadi pengeluaran tunggal terbesar sejak 2007, jauh lebih besar dari pengeluaran untuk subsidi-subsidi lain dan belanja dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Pekerjaan Umum," papar Tatang.
Menurutnya, adanya subsidi BBM menyebabkan harga BBM yang dikonsumsi masyarakat di dalam negeri relatif lebih murah daripada harga pasar normal. Perbedaan harga solar dan premium yang besar antara di dalam negeri dan di negara-negara tetangga sangat berpotensi memicu terjadinya penyelewengan berupa penyelundupan solar dan premium yang ada di dalam negeri untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi ke luar negeri.
Tatang berpendapat bahwa demonstrasi demi demonstrasi yang menentang kenaikan harga BBM sesungguhnya tidak merepresentasikan pembelaan terhadap rakyat kecil, malahan menghantar rakyat pada keterpurukan secara perlahan. Minyak bumi dan bahan bakar fosil sebagai konsumsi pokok masyarakat kian langka dan mahal, dan masyarakat pun seharusnya siap akan pergeseran pemanfaatan sumber energi primer dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber terbarukan. "Pemberian subsidi BBM sebaiknya disertai pula dengan perhatian dan insentif layak kepada pengembangan industri bahan bakar alternatif, misalnya bahan bakar nabati (BBN) serta energi terbarukan lain," jelas Tatang, yang juga merupakan Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia (IKABI) dan anggota Dewan Penasehat Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI).
Hanya Peroleh 13,92% Manfaat Subsidi BBM
Aditya Prasetyo, Ketua Divisi Kajian Energi Himpunan Mahasiswa Teknik Perminyakan ITB sependapat pula dengan Tatang, dan mengutarakan bahwa kebijakan subsidi BBM kini sudah tidak relevan dan cacat. "Berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), 40% masyarakat menengah ke bawah hanya memperoleh manfaat sebesar 13,92% saja dari subsidi BBM. Sedangkan penikmat subsidi BBM adalah 20% orang mampu dan berada di Indonesia dengan bagian sebesar 48,44%," cetus Aditya.
Aditya berpendapat, subsidi BBM hanya akan mendorong perilaku konsumtif di masyarakat dan menyebabkan masyarakat mengkonsumsi BBM dengan boros dan ceroboh. Harga BBM yang lebih realistis akan mendorong penghematan dan proses konversi ke sumber energi lain yang lebih bersih, terutama gas.
Di samping itu, Aditya juga sependapat dengan pernyataan Tatang untuk mengembangkan industri bahan bakar alternatif dikarenakan minyak sebagai fuel energy bukanlah sumber energi terbarukan. "Dana subsidi BBM itu seharusnya dapat dialihkan untuk membiayai investasi infrastruktur, terutama dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) serta konversi gas," papar Aditya.
Sayangnya, sumber-sumber energi potensial Indonesia seperti gas, geothermal, serta BBN yang tengah dikembangkan saat ini masih sulit bersaing akibat BBM yang "murah meriah". "Bagaimana kita dapat melakukan diversifikasi energi jika pemerintah sendiri tidak menciptakan demand untuk EBT dan gas?" intrik Aditya.
Indonesia merupakan negara dengan potensi energi panas bumi terbesar di dunia, yaitu 29 GW atau sekitar 40% potensi panas bumi dunia. Namun, pemanfaatan panas bumi Indonesia saat ini hanya sebesar 1,341 MW, dikarenakan lebih banyaknya masyarakat yang menggunakan minyak sebagai sumber energi primer dengan harga yang begitu murah akibat subsidi.
Produksi minyak dalam negeri yang kian hari semakin menurun namun dibarengi dengan konsumsi minyak yang justru semakin meningkat menyebabkan Indonesia harus mengimpor minyak dengan harga yang terus meroket. Karenanya, Aditya berpendapat bahwa kebijakan subsidi BBM saat ini sebenarnya sudah tidak relevan.
"Kelompok masyarakat yang ingin maju dan bersikap positif terhadap kemajuan, harus menyadari bahwa harga minyak mentah dunia dibentuk oleh keseimbangan antara pasokan dan permintaan," kata Tatang. Ia berpesan pula agar sebagai kaum cendekia, para mahasiswa dan pemuda yang pro-kemajuan bukan menuntut "Jangan naikkan harga BBM bersubsidi", melainkan pemerintah boleh menaikkan harga BBM dengan (1) menaikkan pula gaji pegawai negeri terutama golongan bawah, (2) melakukan penyesuaian terhadap upah buruh, serta (3) menaikkan pula harga pembelian gabah dan produk-produk hortikultura para petani agar kelompok masyarakat tersebut tetap dapat membeli BBM.
"Subsidi BBM seharusnya dilakukan dalam jangka waktu yang tak terlalu lama, dan dihapuskan secara perlahan dengan terencana sembari mengalihkan dana subsidi BBM-nya pada pengembangan bahan bakar alternatif, seperti BBN," tutup Tatang.
Sumber dokumentasi: berita.plasa.msn.com